Prof. Achir Yani S. Hamid, M.N., D.N.Sc, salah satu guru besar keperawatan kebanggaan profesi perawat di tanah air Indonesia, berasal dari Komering dengan budaya yang agamis, tepat pada tahun 2006 tercatat sebagai professor saat menjabat sebagai Ketua Umum DPP PPNI.
Menjadi guru besar pertama keperawatan jiwa di Indonesia, merupakan sebuah prestasi yang gemilang.
Menjadi kebanggaan tidak hanya pada FIK UI, tetapi juga masyarakat profesi perawat, tentu kebanggaan negara, khusunya masyarakat Sumatera Selatan. Dan terutama keluarganya yang berasal dari Komering.
Jika anda belum mengenal Komering (suku dan budayanya), kami sarankan anda jangan menatap lelaki atau perempuan dari suku ini terlalu dalam.
Sebab jika perjaka dan gadisnya sempat melempar senyum kepadamu, itu bisa menyatu dan mengukir dalam jiwamu. Tentu bisa pula membuatmu jatuh hati dan tenggelam, pula detak jantungmu akan tidak beraturan. Kebayang kan?
Entahlah kalau ia memiliki perasaan yang sama denganmu.
Namun sejajar dengan itu, perlu kita ketahui, bahwa orang bersuku Komering itu lembut dalam bertutur. Serta agamanya kuat.
Organisatoris lain baca ini: Daftar Professor Keperawatan Terupdate Tahun 2021
Sungai Dan Budaya Komering
Sungai Komering, yang terdapat pada Provinsi Sumatera Selatan, merupakan salah satu sungai yang meliuk di OKU (Ogan Komering Ulu), dengan lebar mencapai 200 – 300 meter, membentang hingga 360 km.
Menyatu pada hilir ke Sungai Musi, selanjutnya dari Sungai Musi bermuara ke Laut.
Dengan perahu bisa mengakses hingga ke Pulau Bangka dan Belitung. Dan seluruh pulau di Indonesia, Dulu pada pulau ini berkuasa Kerajaan Sriwijaya yang tersohor.
Sungai Komering, yang memanjang ini, telah memajang langit melebar dan dalam, dengan ikan mujair, gurame, lele, mas, patin, nila, nilem, gabus, wader, sidat, bawal dan lain sebagainya.
Buaya darat jangan pernah menjinakkan perempuan dari suku ini, sebab buaya di Sungai Komering jauh lebih besar dan menakutkan, namun setiap ada bahaya, selalu saja ada pawangnya. Sebutlah pawang buaya di Komering Ulu seperti Yai Sunting.
Sejauh bentangan sungai tersebut, berjejer pohon. Dan oleh karena ukurannya yang lebar, selain menjadi habitat ikan, tumbuhan bawah air, pasir.
Juga menjadi salah satu tempat mata pencaharian penduduk, yang mendiami bantaran sungai.
Tidak hanya itu, tapi sungai ini menjadi alur transportasi air, dengan perahu ke berbagai daerah. Untuk menjual hasil bumi.
Angin semilir yang lembut, menyisir anak sungai musi ini, ada gadis Komering, salah satunya bernama Dewy mandi di sungai pada suatu waktu berenang, tanpa ia sadari bahwa ada buaya yang tak berjarak dengannya.
Rambutnya yang terurai dengan kulitnya yang putih. Senyum khas selalu setia menemani dengan kelembutannya. Sungai Komering tak hanya menjadi alur transportasi tapi juga menjadi aliran sejarah panjang.
Entahlah penamaannya, jika berhubungan dengan nama orang India yang berjualan Pinang bernama Komring Zing ataupun penamaan itu karena penyebutan Belanda Khemering. Memang masih misteri hingga saat ini.
Biarkanlah nama dan sejarah menjadi rahasia akan permulaannya, namun tahukah anda bahwa diantara jutaan orang Komering ada seorang lelaki bernama Oemar Prabu. Tepatnya di Desa Gunung Terang (Torang), Komering Ulu.
Syuhaimie Dan B Mirna
Dari sinilah (Komering) ini merupakan asal dari Oemar Prabu. Pernikahan Oemar Prabu dengan Syarifah memiliki 8 orang anak, yakni:
- Syuhaimie,
- Siti Wardiah,
- A.Azis Oemar,
- Abu Mansyur Prabu
- Mastoniah,
- Fauziah,
- Roeslamiah dan
- Syamsul Bachri
Kenangan di Plaju, Gang Prabu (1945 – 1953)
Pada tahun 1945 Syuhaimie (anak sulung dari Oemar Prabu) menikah dengan B. Mirna.
Sebagai pengantin baru, maka keduanya mulai ambil posisi start menata hidup di Gang Prabu, tepatnya dirumah orangtua Syuhaimie, yang oleh anak-anaknya memanggil kakeknya dengan panggilan Yai Prabu.
Pada sebuah perkampungan, yang dibangun oleh ayah Syuhaimie.
Pada saat tinggal disini, Kiswaty lahir pada tahun 1946.
Berbagai macam pekerjaan dilakoni Syuhaimie, termasuk ikut menjadi Tentara ke Tanjung Karang.
Kemudian selanjutnya Nurjannah Waty lahir 1948 sebagai anak kedua, sementara Rusmala Dewy (anak ketiga) lahir pada tahun 1950.
Setelah kelahiran anak pertama, Syuhaimie mendapatkan pekerjaan sebagai karyawan pada PT Stanvac. Sebuah perusahaan minyak skala Internasional.
Syuhaimie bekerja sangat giat untuk membesarkan ketiga putrinya.
Dalam setiap derap langkah kakinya berharap memiliki anak lelaki.
Namun tidak bermakna tidak mensyukuri kelahiran ketiga anak perempuannya tersebut, ia ingin melengkapi rumahnya dengan tangisan bayi lelaki.
Berkat doa dan usaha, akhirnya pada tahun 1952, suara tangis bayi lelaki pada rumah itu terdengar, pada tahun tersebut lahir seorang anak lelaki bernama Djumhana Shantory.
Kelak lelaki ini banyak memposisikan diri sebagai benteng tempat berlindung bagi saudara-saudaranya. Yang saat ini merupakan Anggota DPRD Kota Metro Lampung.
Organisatoris lain baca ini: Organisasi PPNI: Sejarah Berdiri, Ketua Dari Masa Ke Masa
Sungai Gerong
Mengarah ke tenggara dari Kota Palembang, terdapat sebuah tempat bernama Sungai Gerong.
Area Sungai Gerong ini dalam satu tempat dengan dua sisi yang terpisah oleh Sungai Musi yang membelah Sungai Gerong dan Palembang. dan antara Sungai Gerong dan Plaju dipisahkan oleh Sungai Komering
Tempat yang mampu mengikat rindu, dengan teduhnya. Pada bagian tengah sungai ada daratan berbukit.
Jadi, Sungai Gerong itu nama tempat, bukanlah sungai sebagaimana bayangan kita sesungguhnya. Dari sini kita bisa menemukan bangunan-bangunan yang merupakan kompleks tempat tinggal para karyawan PT Stanvac diantara Tangki-tangki kilang minyak yang besar.
Sungai Gerong berlokasi Stanvac perusahaan minyak orang Amerika. Sedang di Plaju itu BPM (Shell) yg dikelola oleh orang Belanda.
Pada kawasan ini ada bioskop, gedung pertemuan, juga kolam renang dengan ukuran yang kecil. Rumah ibadah sudah pasti.
Mereka mendiami area Sungai Gerong, tepatnya Jln Tangril 807.
Ayahnya, disiplin. Yang ketika marah, cukup dengan tatapan matanya sedikit membelalak.
Shantory dikemudian hari beberapa kali mendapatkan cubitan pada pusarnya, sambil mengangakatnya sehingga anak lelaki tersebut harus menjinjit menahan sakit mengikuti irama keatas, makanya jangan nakal!
Jerambah Gajah
Syuhaimie membuka lahan untuk bercocok tanam pada sebuah lokasi kebun seluas 4 Ha, berbentuk persawahan.
Membentuk pematang yang lebih lebar, pada sisi pematang terdapat tanaman hijau berupa kacang panjang, cabai, tomat cherry, terong dan sebagainya.
Sehingga berjalan diatas pematang, maka sisi kiri dan kanan berjejer tanaman seperti pasukan berbaris menjemput tamu kehormatan.
Merawat tanaman dengan sangat teliti, sesekali mereka berdua membanting cangkul, membajak, demi menghambat gulma.
Hasil dari sawah tersebut mereka konsumsi dan kelebihannya dijual, namun tetap memberikan kepada tetangga yang membutuhkan.
Disinilah B Mirna bersawah, menanam padi.
Sawah ini dilewati kali yang jernih, setiap sore Syuhaimie atau B Mirna menjadikan tempat ini sebagai sumber protein hewani berupa ikan.
Dengan menangkap ikan cara memperangkap. Setiap ia mengangkat perangkap tersebut, maka ikan-ikan menggeliat dan menghempas.
Maka lengkaplah rumahnya dengan makanan yang sehat dan alami. Sayuran hijau dan ikan segar, hampir setiap sore, lelaki itu membakar ikan. Sebagaimana ikan bakar makanan favoritnya.
Selain bercocok tanam kedua orangtuanya juga memelihara ayam, bebek dan kambing, dari sini Shantory mulai belajar mengambil makanan untuk kambing.
Jln Tangril (1953-1958)
Kampung Bali. Pada Sungai Gerong terdapat kawasan tepatnya Tangril (nama jalan).
Disinilah rumah dinas Syuhaimie berdiri sebagaimana ia merupakan karyawan di PT Stanvac. Mendapatkan fasilitas. Bersama istri dengan 4 orang anak.
Selama tinggal di rumah tersebut, B Mirna, membantu kehidupan keluarga dengan terus menanam sayur-sayuran dan buah-buahan. Untuk kebutuhan keluarga.
Sehingga sawah pada Jerambah Gajah menjadi lokasi yang sering ia kunjungi, pagi atau sore.
Jika hasil panen berlebih, maka kelebihannya tersebut dijual pada warga kompleks, maka Kiswaty yang berumur 5 tahun keliling dengan menggunakan sepeda. Untuk menjualnya. Shantory juga ikut menjual Es Balok keliling.
Mereka tekun bekerja, dengan mengerahkan seluruh energinya, tangisan dirumah tersebut telah lengkap bagi Syuhaimie dan B. Mirna terdapat bayi perempuan dan lelaki.
Tepat pada tahun 1954, lahirlah Achir Yani, kemudian disusul Indra Jaya pada tahun 1956.
Maka lengkaplah 6 orang anak, yakni:
- Kiswaty Ratu Mustika,
- Nurjannah Waty,
- Rusmala Dewy,
- Djumhana Shantory,
- Achir Yani,
- Indra Jaya,
Menjadi sumber energi buatnya, ketika pulang kerumah, maka kelelahannya sirna dengan senyum anak-anaknya.
Semenjak itu pula, karier ayahnya semakin menanjak. Dan pada akhirnya menempati posisi sebagai Manager Keuangan pada perusahaan asing tersebut.
Jln Macan (1958 – 1960)
Ayahnya, sebagai karyawan pada perusahaan Belanda, PT Stanvac. Dengan posisi baru menjadi orang penting dalam perusahaan tersebut.
Kini ia menempati rumah besar yang terletak pada Jalan Macan, Kampung baru, yang secara hierarki perusahaan, maka Jln Macan dekat dari arah sungai Musi.
Pada aturan rumah tinggal Staff Employee perusahaan, semakin tinggi jabatan, maka posisi fasilitas perusahaan semakin dekat kesungai Musi, tepatnya Jln Macan 827, Kampung Baru.
Terdapat 4 kamar. Selain kamar utama, pada bagian belakang terdapat kamar asisten rumah “Rohani”.
Samping kiri kebelakang kolam renang.
Dipinggir sungai Musi, terdapat nama Jalan Musi, Jln Gajah, Jln Macan, Jln Kelapa dan sebagainya
Pada bagian depan rumah dengan model rumah Belanda ini, terdapat Gereja dan Masjid.
Akses menuju ke sungai Musi sangat dekat, hanya berjarak sekira 50 meter.
Achir Yani Kecil
Di Jalan Macan inilah, Achir Yani yang kelak menjadi professor keperawatan jiwa pertama tanah air, atau guru besar kedua keperawatan di republik ini sebagai tempat bermainnya.
Sebagai anak kelima dari enam bersaudara, dengan abang (kakak) serta adiknya lelaki. Posisinya diapit saudara lelaki, maka jangan heran jika ia memiliki beberapa prilaku yang bisa ia lakukan dan sebenarnya hal tersebut identik dengan lelaki.
Main Tarzan, dengan bergelantungan dari satu tali ke tali yang lain, lincah. Maklum ia memiliki postur yang kecil sehingga ringan untuk berpindah dengan gerakan mengayun pada tali yang terikat pada cabang pohon tersebut.
Selain itu, ia memiliki kemampuan untuk memanjat pohon. Ketika Kiswaty bisa memanjat dan tidak tau arah jalan turun (bukan arah jalan pulang).
Maka sebaliknya Achir Yani sangat lincah dengan gaya ini. Berani memanjat, dan mengetahui cara mendarat yang baik.
Masa TK Dan SD, Achir Yani
Ia tumbuh menjadi anak yang periang, selalu tersenyum, hampir tidak memiliki beban, sejak ia kecil.
Menginjak usia 5 tahun ia memasuki tempat belajar pada sebuah TK.
Pada taman kanak-kanak tersebut ia bertemu dengan ibu guru TK bernama Fernandes, orang dari timur. Selama beberapa hari ia menikmati proses belajar di TK tersebut.
Namun memasuki pekan ketiga, ia memprotes ayahnya. Sebab realitas dengan ekspektasinya berbeda.
Ia berharap di TK ia belajar menulis dan membaca. Ia tidak berharap hanya menyanyi, makan dan minum.
“Sekolah apa itu ayah, kenapa menyanyi saja, harusnya menulis dan membaca” sergapnya kepada sang ayah yang heran namun lucu dengan penyataan anak kecil tersebut.
Ia hendak memegang pensil maupun pulpen dan menulis. Syuhaimie (sang ayah) bingung dengan permintaan anak kelimanya tersebut.
Akhirnya dia pun diantar ke SD Xaverius III. Tentu ini menjadi sesuatu yang hampir tidak mungkin diterima.
Sebab ada aturan, yakni tangan harus bisa memegang telinga setelah melingkar dikepala.
Ia tidak memenuhi syarat, dari segi umur dan juga fisik. Namun anak kecil ini bersikeras, harus bersekolah.
Untuk meredamnya maka dititiplah di sekolah itu, sebab lelaki yang tinggi, besar, dan gagah ini tidak mau berdebat dengan anaknya.
Tamat pada SD Xaverius umum tahun 1966 Palembang, Sumsel. Setelah 6 tahun menyeberang sungai musi.
Seringkali petugas di pelabuhan membantu anak kecil ini saat hendak naik ke ferri.
Karena ada jarak dari sisi pelabuhan dengan body ferry sekira 50 cm. Bisa kita bayangkan ketika anak kecil ini terjatuh kedalam sungai.
Yani ke sekolah dengan seragam sekolah Putih-putih, lengkap Tas kain, biru tua dengan serta Cats berwarna putih.
Di sekolah ini ia bertemu dengan Endang, Suwenda, Erwin, Emilia dengan guru bernama Harun. Yang pada akhirnya, tahun 2017 mereka temui di Kulonprogo.
Loncat Lewat Jendela
Karena akses ke kolam renang yang dekat, maka mereka: Shantory, Nurjanah Waty, Kiswaty, Achir Yani dengan komando Rusmala Dewy. Sering berkunjung ke kolam besar tersebut.
Meski umurnya baru menginjak 4 tahun ketika itu Achir Yani sudah mampu berenang.
Adalah Nurjannah yang pada suatu ketika mendorongnya masuk kedalam air kolam dewasa. Namun bukannya takut, Achir Yani justru senang dengan peristiwa itu.
Akhirnya, kegiatan berenang merupakan kegiatannya yang selalu ia programkan ketika sore. Dewy kakak ketiga yang selalu mengajaknya.
Hingga suatu ketika, ibu mengetahui hal tersebut. Ibu berpikir, dengan hal itu (berenang) maka anak-anaknya tidak memiliki waktu istirahat.
Akhirnya mereka (kecuali Indra Jaya) dimasukkan kedalam satu kamar (bagian belakang yang mengarah ke kolam), selanjutnya pintu kamar tersebut dikunci ibu dari luar.
Dewy tidak kehilangan ide, maka dengan membuka jendela, mereka berhasil keluar kamar, lalu kembali berenang pada kolam renang tersebut. Memanfaatkan akses yang dekat ke kolam.
Suatu ketika, Ayah Ibu memanggil Achir Yani masuk kedalam kamar untuk tidur, posisinya ditengah (antara ayah dan ibu). Harapannya, anak kecil ini tidak lagi berenang.
Begitu ayah ibunya tertidur, ia kembali berhasil loncat lewat jendela, apalagi kalau bukan kekolam renang.
Dan melompat di kolam tersebut pada ketinggian untuk ukuran loncat indah orang dewasa.
Anak Orang Amerika pun!
Pada rumah itu, ada pohon pepaya, pada kediaman ini tidak memiliki pagar. Suatu ketika seorang anak karyawan dari Amerika. Memetik buah pepaya (tanpa izin), lalu menendangnya. Achir Yani menyaksikan ini.
Shantory yang tidak menerima prilaku anak tersebut, dengan gerakan berlari menuju ke anak tersebut, dan mengarahkan tekanan kepadanya. Seketika anak itu diam terpaku.
Maksud Shantory adalah agar anak tersebut belajar tentang etika, tidak memetik milik orang lain tanpa izin.
Solidaritas Itu Membagi Duka
Suatu ketika di Jalan Macan. Ada alat kontrasepsi yang jatuh di jalan. Shantory mengambilnya, penasaran dan segera membukanya. Mirip balon.
Ia mencoba meniupnya, ternyata bisa mengembang. Dengan kegirangan Shantory saat itu, menemukan balon di jalan.
Karena terdapat beberapa isi, akhirnya ia membagikan kepada teman-temannya. Lalu ia pulang kerumah membawa balon tersebut.
Ketika ayahnya terbangun, ia memperhatikan balon tersebut.
Sebagai orang dewasa, lelaki yang sering juara Tennis ini marah. Dan bertanya, siapa yang punya balon dari alkon yang terikat pada tiang tersebut?
Ia takut, jika anak-anaknya terutama yang mulai beranjak remaja.
Sayangnya, tidak ada yang mengaku, siapa pemilik balon tersebut. Shantory hanya diam membisu, dengan gemetar (hampir buang air kecil dalam celana).
Maka hukumanpun berlaku, untuk mencari siapa pelaku.
Akhirnya mereka dibaris dan tetap saja tidak ada yang mau mengakui sebagai pemilik benda tersebut. Yang ketika pada masa itu, bukanlah benda yang mudah didapatkan.
Dengan menggunakan kapur sebagai pembatas, ayahnya membuat lingkaran, sebanyak 6 lingkaran. Dari pintu hingga berurut kebelakang.
Kiswaty, berurutan hingga si bungsu Indra Jaya, kejadian itu pada Ahad pagi.
Saat banyak umat Kristiani yang menuju ke Gereja untuk beribadah. Hingga mereka para “terhukum” merasa malu karena menjadi tontonan. Tanpa ada yang bertanya, kenapa dihukum berdiri.
Dengan pintu yang terbuka, tentu Kiswaty yang telah remaja (siswa SMP) kelihatan dari jalan. Anak sulung tersebut bingung, ada masalah apa dengan balon tersebut. Toh itu hanya balon biasa.
Kasus balon tersebut tetap menjadi misteri, mereka tidak paham kenapa dihukum.
Setelah mereka beranjak dewasa dan berkeluarga. Barulah mereka sadar dan mengetahui bahwa balon tersebut bukan balon biasa. Juga mengetahui alasan ayahnya marah karena benda tersebut.
Shantory, sungguh kelakuanmu menciptakan penderitaan berdiri selama beberapa jam. Sebab yang menyakitkan adalah menjadi terhukum tanpa mengetahui kesalahan.
Khusus pada kasus ini, penanaman solidaritas rupanya yang hendak diterapkan sang ayah.
Melepas Perahu Dan Berbagi Makanan
Karena dekat dengan Sungai Musi, maka Achir Yani kecil sering ke pinggir sungai tersebut, bermain dan suatu ketika ia mengetahui bahwa ada sahabatnya yang kadang tidak makan.
Oleh karena dirumahnya memiliki stok makanan yang cukup, maka terkadang ia mengambil beberapa potongan ayam, ikan dan nasi. Ia bungkus dalam tempat, tentu bukan tupperware, sebab bisa berubah bencana jika tupperware yang hilang.
Gadis kecil ini sangat senang melihat sahabatnya tersebut melahab makanan, sepertinya sahabatnya kelaparan.
Maklum, sahabatnya tersebut berstatus anak tiri, dan mendapatkan ibu tiri yang kurang bijak. Yang kadang dipanggil kerumahnya ke sebuah kamar rahasia di Jln Macan.
Suatu ketika, ia iseng menarik simpul-simpul perahu yang tertambat oleh nelayan di Sungai Musi. Anak kecil ini pikir tidak akan terjadi apa-apa.
Ternyata, perbuatannya membuat beberapa perahu tersebut terbawa ombak ringan ke tengah Sungai Musi. Bayangkan, pemilik perahu ini harus ketengah sungai berenang mengambil sampan mereka yang hanyut.
Dan kejadian tersebut tetap menjadi misteri, sebab tidak diketahui siapa pelakunya.
Apa ia hendak mengambil talinya yah, untuk bermain Tarzan?
Achir Yani Penjual Nangka Dan Singkong
Insan keperawatan hanya mengetahui bahwa Achir Yani yang menjadi Professor pada tahun 2006 saat menjabat sebagai Ketua Umum DPP PPNI (Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia).
Maupun mereka semua mengetahui bahwa pakar sebagai salah satu perancang Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tersebut, menyelesaikan Studi S3 di Washington DC.
Namun tahukan kamu, bahwa dulu ketika ia masih SD, ternyata ia penjual nangka, pisang, jeruk, kacang, singkong dan berbagai jenis sayuran.
Jangan membayangkan ia menggunakan sepeda motor.
Tapi dengan sepeda ontel, tentu tidak duduk pada sadel sepeda. Sebab usianya masih usia SD.
Ia menjual hasil bumi dari pekarangan rumah tersebut, karena hendak membeli buku. Maklum ia sangat suka membaca buku.
Maka dengan menyamping, memasukkan kaki demi meraih pedal sepeda, gadis kecil itu mengayuh sepeda ontel milik tukang kebun.
Lengkap dengan keranjang yang terbuat dari bambu pada kiri dan kanan belakang.
Ia memasukkan bebagai macam buah dan sayuran. Gengsi tentu tidak. Sebab baginya, membeli buku adalah kebutuhan.
Jarak sekira 1/2 kilometer menuju pasar Mato Merah (dalam bahasa Palembang, bermakna mato abang).
Pada bagian depan pasar, ia memarkir sepeda berisi sayuran tersebut.
Sebagai pedagang baru, ia belum mengetahui cara menarik pembeli. Kali aja, para pedagang menganggap anak ini penjaga sepeda orangtuanya.
Namun tetap saja ada pembeli yang membeli jualannya.
Semenjak itu ia telah memiliki uang, untuk urusan jual beli hasil kebun, kini menjadi pekerjaannya.
Dalam melakukan pekerjaan ini, ia selalu bersama Shantory (ia panggilnya Kak Jum). Dengan metode penjualan langsung maupun titip pada beberapa pedagang yang lain.
Berdebat Dengan Dewy
Semenjak aktif jualan pada pasar Mato Merah. Maka ia memiliki tabungan, meski sebenarnya melakukan hal tersebut hanya untuk membeli buku pada awalnya.
Pada akhirnya berjualan di pasar ini menjadi pekerjaan menyenangkan buatnya.
Suatu ketika, Dewy sebagaimana kakaknya tersebut memiliki penampilan cantik semenjak dulu. Menagih untuk membagi hasil. Semacam jatah bagi hasil begitu.
Achir Yani yang merasa telah berkeringat (baca: menabur lelah) banyak untuk mendapatkan hal tersebut, justru komplain dan berkata bahwa jika hendak mendapat uang maka harus menjual juga.
Dewy tidak mau tau dengan argumen Achir Yani, ia berpikir bahwa buah-buahan tersebut ditanam oleh ibu untuk anak-anaknya.
Kini Achir Yani dan Shantory rajin menjualnya. Ini tidak adil. Terjadilah perdebatan panjang mereka.
Perdebatan anak kecil ini terjadi, masing-masing memiliki argumen yang kuat.
Meskipun pada akhirnya ibu B Mirna menyelasaikan kasus bagi hasil kebun ini, hehe.
Siolo (1960 – 1968)
Hingga tahun 1960, ia pun pindah ke Siolo, Syuhaimie berpikir lebih futuristik.
Bahwa yang ia tempati di jalan Macan adalah fasilitas perusahaan yang suatu waktu akan ia tinggalkan.
Selain itu, meski tempat tersebut (Jln Macan) memiliki halaman luas, namun terbatas dalam berkreasi. Misalnya tidak bisa memelihara kambing atau ayam.
Tempat baru Siolo Sungai Batang. Lokasi ini berada satu sisi dengan Sekolah Dasar atau tidak menyeberang Sungai Musi lagi ketika ke SD Xaverius III.
Rumah dengan bahan kayu jati, berbentuk panggung, pekarangan lebih luas.
Pada rumah ini, Shantory bertugas mengangkat air untuk memenuhi kolam pada lantai 2. Terkadang Achir Yani membantu untuk menimba air. Indra Jaya, Dewy terkadang menghabiskannya.
Sesekali anak kelima tersebut membantu untuk mengambil makanan kambing dan juga memberi makan pada ayam dan bebek.
Saat ini, jualan kepasar tetap berjalan. Mempertahankan usaha yang pernah dilakukan sebelumnya.
Bersama Shantory, terkadang juga ia menjual dengan cara menghampar.
Yang kendalikan uang adalah Achir Yani, termasuk membeli kebutuhan rumah pesanan ibu dirumah.
Pada masa tinggal pada rumah ini, Ayahnya menjadi Ketua Serikat Buruh.
Sebagai seorang payroll (bagian keuangan) perusahaan internasional tersebut. Ia melihat erdapat disparitas antara staff asing dengan pribumi.
Lelaki yang memiliki wajah putih tersebut, mengalami conflict of interest. Gaji antara staff asing berbeda jauh dengan Pribumi.
Ada sebuah diskriminasi penghasilan antara staf asing dengan staf pribumi, sehingga ayahnya sering ke Jakarta, dan hendak menemui Adam Malik (kelak menjadi Wakil Presiden).
Berjuang Dan Mengundurkan Diri
Ayahnya tidak kenal lelah, Palembang – Jakarta. Serasa dekat, hampir setiap pekan ke Jakarta untuk melakukan upaya perjuangan nasib.
Entah kalau jiwa nasionalismenya kembali mendidih sebab ia pernah menjadi pasukan pembela tanah air.
Jika hendak tiarap, maka sangat mudah baginya, dan jika hendak mengamankan piringnya maka mengelak bukan perbuatan yang susah buatnya.
Namun ia berpantang untuk menjadi seorang pengecut. Ia tidak pernah berpikir bahwa mengamankan piring dan menginjak hak pribumi adalah lebih baik.
Dirinya memimpin organisasi, maka bertanggung jawab pada bawahan adalah mutlak. Entah inspirasi ini menjadi landasan Achir Yani yang kelak memimpin PPNI selama 2 Periode.
Achir Yani kecil saat itu, tidak mengerti apa-apa, ia hanya berpikir bahwa ini urusan pekerjaan dan itu bagian orang dewasa.
Ia hanya menyaksikan bahwa ayahnya terkadang rapat hingga larut malam bahkan hingga subuh.
Sebab pada tempat tidurnya (box bayi) dalam kamar orangtuanya. Sering ayahnya absen di kamar itu. Yang terkadang menemaninya tersenyum saat hendak tidur.
Ibunya hanya menjawab, bahwa ayah masih dikantor, tidurlah anak pemberani. Yang berpantang untuk menyerah.
Pada akhirnya ia berhasil dengan perjuangannya, dan gaji pribumi diperhitungkan.
Meski tidak sama (sejajar penuh) namun perbedaannya tidak lagi terlampau jauh dalam beberapa bagian. Bukan lagi langit dan bumi.
Perpisahan Yang Mengharukan
Mereka para staff yang mendapatkan imbas perjuangannya kemudian datang menemuinya, sekedar memberi ucapan terima kasih lengkap dengan hadiah.
Lelaki ini kemudian dengan mata yang penuh haru, menolak. Sebab mampu melihat senyum para karyawan. Juga mampu membuat tersenyum anak dan keluarga mereka. Menatap dengan lembut.
Ada beberapa kasus yang ia menangkan dan keberpihakannya kepada pribumi termasuk suatu ketika di payroll.
Ia bertegas menolak. Meski para karyawan ini memberikan alasan ikhlas, sebab merasa dibantu. Bahkan para karyawan ini tak segan menangis di hadapannya.
Jiwa mereka penuh dengan bahagia dan haru.
Tak hanya sampai disitu, pada kesempatan itu pula ia menyampaikan bahkan dirinya menyatakan “mengundurkan diri”.
Para karyawan ini terhentak, seakan nadinya berhenti berdenyut. Namun dengan alasan bahwa hendak fokus mengurus keluarga. Meski mereka paham, tapi jiwa kecilnya tidak menerima Syuhaimie, harus meninggalkan mereka.
Anak Pungut Itu Pawang Angsa
Siolo, pada rumah ini. Achir Yani memelihara angsa, sebanyak 20 ekor. Diantara peliharaan yang aman dari gangguan adalah angsa ini.
Yang tidak diserangnya hanya dia. Selebihnya pernah mendapatkan stempel patukan angsa.
Jangan heran jika saudaranya yang lain sesekali menjerit histeris karena serangan angsa. Belum lagi ketika binatang peliharaan tersebut melebarkan sayapnya saat menyerang.
Namun dengan Achir Yani sangat jinak, bahkan sering bermanja dengannya.
Tangan gadis berusia 13 tahun tersebut bahkan tidak mendapatkan serangan paruh dari hewan jenis genus sygnus tersebut. Ternyata ia pawang angsa.
Diantara besaudara, yang memiliki hidung mancung dan mengikuti jejak ayah adalah Dewy, suatu ketika dalam kamar, Ia menyentuh dan memuji hidung Dewy.
“Kamu itu anak pungut, yang sempat diinjak kaki kambing, dan ibu menemukanmu, maka kamu dibesarkan dan dirawat disini” Candaan Dewy kepada Eni (panggilan akrab keluarga kepada Achir Yani). Ia bersedih.
Eni yang merasa seperti disambar petir mengadukan hal ini kepada ibu, dan sang ibu tersenyum mendengarkan aduan tersebut.
Perayaan Ulang Tahun Pertama
Adalah Dewy yang memiliki ide perayaan ulang tahun pertama Eni. Tepatnya pada usia 13 tahun. Berbagai upaya dilakukan, termasuk mendatangkan fotografer.
Termasuk menyiapkan baju baru. Dewy saat itu menginjak usia remaja, secara penampilan selalu terbaik. Dalam setiap kegiatan, harus memakai pakaian yang serba baru.
Entah kain baru atau kain ibu yang diambilnya kemudian dijahit. Maklum ibunda mengetahui cara membuat pola baju.
Saat menjahit mendahulukan anaknya yang gadis, Kiswaty, Nurjanah dan Dewy.
Sementara Achir Yani mendapatkan sisa kain dari ketiganya, namun karena cara pembuatan pola yang baik, akhirnya baju Eni justru menjadi baju yang terbaik dari segi model. Meskipun kainnya merupakan gabungan kain yang berbeda-beda.
Kiswaty Yang Tegas
Sedikit otoriter kepada adik-adiknya, kecuali pada yang bungsu Indra Jaya. Kiswaty sebagai anak pertama, tegas dalam bersikap. Sedikit bertangan besi apalagi ketika di dapur.
Jika ia sedang menggoreng atau menyiapkan makanan (kue dan sebagainya), jangan mencoba menyodorkan tanganmu mencicipi makanan tersebut. Sebab Sodet bisa melayang ke tanganmu.
Kakak tertua tersebut menanamkan budi pekerti, mendahulukan orangtua sebelum anak-anak mencicipi makanan, apapun.
Termasuk dalam hal pembagian makanan. Karena dalam hal tertentu ada masa keterbasan pangan. Maka jalan keluarnya adalah makanan harus dibagi rata sesuai porsi umur. Kiswaty yang bertindak mengatur ini.
Dewy menolak, sebab merasa seperti buruh (kuli kasar) dengan perlakuan itu.
Berdebat diruang makan. Meski pada akhirnya yang menang adalah Kiswaty, sebab secara otonomi ia memiliki hak veto dan kekuatan otokratik.
Tentu kisah ini adalah kisah yang menyenangkan buat mereka, bahwa mereka telah melewati fase suka duka bersaudara, yang tak mungkin mereka replay. Hingga tahun 1968, keluarga ini meninggalkan Siolo menuju Lampung.
Kota Metro Lampung, Ngali
Setelah resign dari Stanvac, akhirnya keluarga ini berpindah ke Kota Metro lampung. Pada masa ini pula, kakak pertama (Kiswaty) telah di Jakarta untuk melanjutkan pendidikan pada Fakultas Kedokteran UKI.
Kini ia di Jln Ngali, dekat pasar dengan menempati rumah permanen.
Sebagaimana lokasi ini merupakan area transmigran, dan transaksi dalam pasar menggunakan bahasa jawa.
Pada rumah baru ini tidak memiliki halaman luas.
Ayahnya yang memiliki waktu banyak dirumah. Membuat rak buku kebutuhannya, untuk menampung beberapa buku. Semacam perpustakaan pribadi.
Selain itu, kakak kedua dan ketiga menikah pada masa ini, maka yang ikut ke Kota Metro adalah Shantory, Achir Yani dan Indra Jaya. Secara praktis ia kini menjadi anak perempuan satu-satunya yang mendiami rumah itu.
Dia melanjutkan pendidikan pada SMP Xaverius, dan selesai pada tahun 1969. Posisi rumah dengan sekolah cukup dekat dan ia tempuh dengan naik sepeda.
Bersama abangnya (Kak Jum) ia mengayuh sepeda bersama-sama, maklum kakaknya tersebut melanjutkan pendidikan pada sekolah yang sama dengan kelas yah berbeda.
Sebenarnya ia siswa pindahan dari SMP Xaverius Palembang ke Lampung, pada saat kelas dua.
Saat menjadi siswa baru pindahan, salah seorang siswa lama menyebutnya kampungan.
Ia tidak terima labelisasi “kampungan” sebab pada saat itu, pikirnya, Palembang jauh lebih ramai daripada Lampung.
Dengan tatapan tajam ia menghampiri wanita tersebut, dan wanita itu rupanya tidak memiliki nyali menghadapi siswa pindahan yang kelak menyelesaikan study pada University of the Philiphines tahun 1984.
Menyusuri jalan-jalan kecil (bukan jalan utama) ketika pulang sekolah SMP pada saat itu, adalah pilihannya.
Apalagi ketika musim duku atau rambutan (dahan rambutan berjuntai ke jalan menawarkan buahnya yang ranum). Sebab ia memiliki hoby memakan buah.
Maklum pada masa tertentu biasanya banyak buah rambutan maupun duku (langsat) berjatuhan.’Baju putih-putih sebagai seragam dengan sepatu cats melekat pada kakinya.
Organisatoris lain baca ini: Pengertian AD/ART Pramuka: 3 Konsep, Cara Membuat
Menulis Puisi Dan Teka Teki Silang
Selama melanjutkan pendidikan di SMP, ia tidak pernah melupakan untuk selalu menambah koleksi buku pada rak buku yang ada pada teras rumahnya.
Dalam hal uang belanja, ia rasa cukup.
Hanya saja tidak ada anggaran untuk membeli buku. Maka praktis ia melakukan sesuatu demi menambah jumlah judul pada perpusatakannya.
Menulis puisi adalah hobbynya, yang ia kirimkan ke RRI Palembang.
Pada masa itu, suara radio broadcasting RRI yang khas, menjadi hiburan terbaik pada gelombang MW (jauh sebelum adanya gelombang FM).
Dan setiap puisinya dimuat maka ia mendapatkan uang sebanyak Rp 75,- (tujuh puluh lima rupiah) uang yang sangat besar pada masa itu.
Maka menumpahkan imajinasi puisinya kedalam kertas dan ia jadikan “dollar” menjadi pekerjaannya.
Padahal posisi rumahnya sangat dekat dengan pasar. Dan jika menjual sayur-sayuran, jaraknya tidak sejauh waktu di Jln Macan dan Sungai Batang.
Namun rumah barunya tersebut tidak memliki pekarangan bercocok tanam.
Selain menulis puisi, ia juga berhasil menjuarai kepenulisan tentang “pemberdayaan keluarga Indonesia untuk mencegah penyalahgunaan narkotika”. Tingkat sekolah Katolik Se Lampung. Dengan hadiah sertifikat, alat tulis menulis.
Tidak hanya itu, namun ia juga mendapatkan uang yang menambah tabungannya.
Hal lain yang ia lakukan adalah mengisi teka teki silang.
Sebagaimana teka teki tersebut ia ambil dari koran dan ia isi, kemudian ia gunting lalu mengirimkannya ke kantor redaksi.
Selalu saja ia mendapatkan hadiah dengan kelihaiannya menjawab pertanyaan-pertanyaan sulit dalam teka teki silang tersebut.
Gadis Komering Yang Menyisir Sungai
Dengan leluhur dari Komering, maka jangan heran jika dalam jiwanya tertanam nilai bersahabat dengan alam. Sehingga ia bergabung dalam Praja Muda Karana (Pramuka) waktu SMP.
Menyisir sungai (kali), membaca tanda-tanda dan petunjuk saat mencari jejak, adalah kepiawaiannya. Lengkap dengan pakaian seragam pramuka, baret, tali komando serta tongkat pramuka.
Ia beberapa kali mengikuti kegiatan perkemahan pramuka yang terselenggara di kolam/danau Swadaya (nama daerah).
Pada sekolah tersebut ia kenal baik dengan Yasmin, Elen Jalib, Elen Setiawan dan sebagainya.
Gadis yang senang memakai tas krem tersebut menjadi pribadi yang sangat bersahabat, riang namun sangat tegas dalam hal-hal tertentu. Sepatu cats tetap melekat pada kakinya.
Achir Yani, Jarang Keluar Rumah
Ibunya khawatir, anaknya tersebut tidak memiliki teman bergaul. Sebab berbeda dengan sikapnya yang melakukan aktifitas anak lelaki kebanyakan, seperti memanjat pohon.
Namun soal keluar rumah bukan sesuatu yang menjadi kebiasaannya.
Justru energinya banyak ia habiskan pada perpustakaan pribadi miliknya, dengan membaca dan menulis puisi, teka teki silang dan sebagainya.
Kekhawatiran tersebut membuat ibunya terkadang membuat acara, dengan memanggil teman-temannya.
Ibunya heran, ternyata anaknya yang periang dan sering tinggal dirumah ini, memiliki teman yang banyak. Salah satu sahabatnya yang ia ingat namanya hingga kini adalah Nurhayati.
Meski hingga kini ia tidak pernah lagi bertemu, namun namanya mengikat dalam ingatannya.
Jln 15 Polos
Selanjutnya, keluarga ini pindah dari Ngali ke Jln 15 Polos, jika tempat sebelumnya begitu ramai karena dekat dengan pasar. Maka tempat terakhir ini lebih tenang.
Halaman lebih luas, serta rumah memiliki ukuran yang luas pula. Pekarangan (halaman) bersambung dengan tanah kosong pada samping rumah tersebut membentuk huruf L.
Lokasi ini lebih indah, dengan sawah yang menghampar. Tentunya ini mengingatkan masa ketika masih di Plaju (Sungai Gerong) maupun ketika di Tangril dan Siolo.
Pada bagian belakang lahan tersebut terdapat satu keluarga, namun karena rasa prikemanusiaan, H. Syuhaimie tetap memberinya tempat tinggal pada lokasi tersebut.
Di tempat ini banyak tumbuh berbagai macam pohon, seperti pohon mangga, jambu, rambutan dan sebagainya.
Usah sebut sayur-sayuran. Sebab tanaman ini sangat setia melilit dahan bambu yang tertancap pada tanah, tepat di pinggir pematang.
Air pada kali tersebut selalu bersenandung, dan singgah dari satu sawah ke sawah lainnya.
Padi yang menghijau lambat laun akan menguning dan menunduk. Musim panen akan tiba.
Suara gemerisik butiran padi yang khas ketika petani membanting potongan padi untuk memisahkan butiran padi dengan tangkainya.
Sebuah pemandangan yang selalu menghiasi pada senja yang redup.
Karena banyak pohon, maka suatu ketika ia memanjat pohon jambu. Dan ketahuan oleh pemilik (Isteri Eyang Dalhar, seorang lurah di Ganjar Agung). Dengan bahasa Jawa ia berkata “cah wedok ojo menek” (red: anak perempuan jangan manjat). Kejadian tersebut di Ganjar Agung, tepatnya rumah eyangnya Suhartanto.
Kisah pemilik pohon ini memiliki alur tersendiri, yang akan dibahas pada bagian lain.
Achir Yani Memasuki SMA
Perlahan namun pasti, Achir Yani kini bertumbuh menjadi seorang gadis, dan melanjutkan pendidikan SMA pada bentangan jalan Yos Sudarso. Makanya nama SMA ini adalah SMA Yos Sudarso.
Shantory, banyak memposisikan diri melindungi adiknya tersebut yang telah menjadi salah satu perhatian lelaki.
Jarak dari rumah ke sekolah 2,5 KM. Shantory bertugas mengantar jemput awal-awal ia memasuki masa SMA.
Sebagai tradisi penyambutan siswa baru, maka ada pemilihan King And Queen pada sekolah itu. Yang terpilih menjadi Queen adalah Achir Yani.
Maklum, kulitnya yang putih dan penampilannya menarik, serta smart menjadi kriteria dan ia memenuhi kriteri tersebut. Serta berhasil mengalahkan para nominator lainnya.
Iya idola di sekolah tersebut, dan mampu membuat beberapa lelaki terpanah kepadanya (semacam emoticon mata bergambar love gitu di WA). Nah begitu kira-kira.
Hanya saja salah seorang panitia pelaksana berbuat kurang sopan kepadanya. Achir Yani menceritakan ini kepada ibunya, akhirnya sampai juga ke telinga Shantory.
Malam penobatan King dan Queen, sudah menjadi kepastian Shantory mengantarnya.
Sekaligus Shantory berbijak dengan memanggil yang bersangkutan, menanyakan perbuatan tidak etis yang ia lakukan pada adiknya.
Namun lelaki tersebut bukannya memohon maaf, malah mengambil posisi hendak menyerang.
Posisi panitia tersebut yang agak tinggi, karena bertumpu pada salah satu benda.
Akhirnya Shantory (yang dipanggilnya Kak Jum) menyerang lebih awal dengan tangan kanannya ia menarik lelaki itu. Dan tangan kirinya mendarat pada telinga kanan lelaki tersebut. Dan serangan beruntun mendarat di wajahnya.
Alhasil, telinga pecah dan beberapa gigi berhamburan karena rontok. Shantory, tidak akan pernah ridha jika ada yang mengganggu Eni (panggilannya ke adik perempuannya tersebut).
Urusan makin bertambah hingga harus ke kantor polisi, lelaki yang sempat tidak naik ke kelas VI karena melukai jempol tangan kananya (hampir putus) saat mengambil makanan kambing. Menjelang ujian penaikan kelas tersebut.
Guru Dan Sahabat SMA
Ia kenal baik dengan beberapa sahabat SMAnya, seperti Yohannes yang hebat dalam mata pelajaran Fisika dan Kimia.
Selain itu ia juga mengingat beberapa guru seperti guru Olahraga (Kardi), Paimin guru Fisika, Suyoko mata pelajaran Sejarah.
Mata pelajaran favoritnya adalah tetap sama ketika SMP yakni Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Ini terinspirasi oleh ayahnya dan juga kakaknya Kiswaty yang mahir dalam menggunakan Bahasa Internasional pertama tersebut.
Gadis yang suka dengan baju kaos (penyerap keringat) kemudian pada saat melanjutkan pendidikan pada Sekolah lanjutan atas aktif dalam kegiatan OSIS.
Pakaian yang sering ia pakai adalah warna-warna berkarakter seperti hitam, putih atau biru.
Perpustakaannya kian banyak memiliki koleksi buku, sebab mendapatkan kiriman buku-buku kesehatan, agama, sejarah dari Jakarta (Kiswaty), selain itu ia melengkapinya dengan buku komik Yang ia peroleh dari toko buku terdekat.
Kursi Dan Kesaksian Meja
Kini perpustakaannya memiliki beberapa kelengkapan, seperti meja petak (segi empat), kursi panjang dua buah dan kursi (semacam sofa) juga dua buah.
Dewy (kakak ketiga) biasanya menjadi tempatnya memasukkan proposal permohonan kebutuhan, buku, pakaian hingga tas.
Kakaknya yang kerap menjadi rival debatnya tersebut, kini berubah menjadi kakak yang care. Penuh perhatian setelah menikah.
Pengunjung bisa membaca di tempat. Ataupun menyewa untuk mereka baca dirumah. Banyak pengunjung yang datang, baik dari orang sekitar, teman SMA maupun sahabat Shantory (kakaknya).
Salah satu yang sering dan setia membaca pada tempat ini adalah Hamid Idrus, teman baik Shantory. Kalau tidak duduk membaca maka ia menyewa buku komik dan berbagai macam bacaan.
Meski pada akhirnya Hamid Idrus harus meninggalkan Lampung karena Hamid Idrus sekolah di Solo bersama Abangnya, Hamzah Idrus yang kuliah kedokteran. Dan adiknya Husen Idrus.
Kebakaran di Kasur
Karena hobby membaca maka suatu ketika ia membaca buku dalam kelambu, dengan menyalakan lilin yang ia simpan diatas tempat plastik, alhasil kasur pada malam itu terbakar karena plastik yang meleleh.
Untung saja gadis yang kini menjadi idola tersebut tidak ikut terbakar. Namun jantungnya tidak karuan, keringat dingin adalah kepastian yang tak bisa ia sembunyikan.
Seperti keringat dingin dan gemetarannya, ketika membaca surat yang dikirim lewat Pos (lengkap perangko pos) dari Hamid Idrus, yang terkirim dari Solo.
Dengan gerakan kelopak matanya sedikit mengkerut, memfokuskan pandangan, setiap huruf dan kata ia baca dan tidak berharap melewati tanda baca sekalipun dari tatapan fokusnya.
Bahwa ternyata lelaki tersebut jatuh hati kepadanya.
Achir Yani terhenyak, matanya menatap baik-baik tulisan tersebut.
Dalam jiwanya terguncang bertanya namun tak ada jawaban
“Kenapa disaat kamu pergi, lalu kamu mengutarakan semua ini?”
Ia terjerat dengan kalimat dalam surat itu.
Tidak heran jika surat ini berulang kali ia baca, dalam kamar, ruang perpustakaan dan sebagainya.
Ia dongkol kepada penulis surat, sebab baginya surat ini pemasungan rasa. Komunikasinya monologis, ia tak ada kesempatan memberikan interupsi maupun jabat tangan secara langsung.
Entah berapa kali ia baca surat tersebut. Mondar mandir, dan sesekali ia tersenyum sendiri.
Ia membalas surat tersebut.
Organisatoris lain baca ini: Hindari 7 Kalimat (kata) ini, Saat anda Memimpin Sidang Atau Pidato
Violeta Itu Eni
Selain memikirkan isi surat lengkap pengirimnya. Tantangan didepan matanya adalah Kak Jum (abangnya), terutama ayahnya. Ia takut ketahuan dengan Backstreet ini.
Karena surat yang dikirim ke rumah menjadi perhatian ayah, akhirnya alamat mereka rubah ke sekolah dengan memakai nama samaran “Violeta”. Benar saja, Violeta itu Eni atau Achir Yani.
Suatu ketika kepala sekolah, membaca suratnya (kepo juga ini bapak, hehe). Gawat, bisa jadi gempa tektonik ini kalau ketahuan sama ayah dan abang.
Namun tiada tantangan tanpa peluang, akhirnya semenjak kejadian itu. Ia merubah alamat korespondensi ke rumah dengan beberapa perlakuan.
Tidak ada jalan lain, harus bisa mengamankan pak Pos (tukang antar surat, dengan keranjang kain berwarna orange seperti warna motornya).
Maka hubungannya dengan pegawai post makin akrab. Surat dari Solo disimpan di kantor pos, ia sering ke kantor itu untuk menjemputnya. Sekaligus menggunakan kesempatan menimbang berat badan. Ia takut berat badannya berlebih.
Atau sekali waktu pak pos mengantar surat kerumahnya, dan hanya diserahkan langsung ke tangan Yani.
Pak Wanto nama tukang pos tersebut. Yang selalu menghias wajahnya dengan senyum ketika ia datang ke kantor pos sekedar nimbang berat badan.
Nun jauh di Solo, surat Violeta di arsipkan oleh Hamid Idrus, pada akhirnya dibaca oleh adiknya, Husein Idrus.
Pembaca, jangan tersenyum, sebab pada kenyataannya masa itu ada namanya surat remaja, yang harum, bahkan mereka tambah dengan wangi parfum, dikira baju pesta kali yah? Kisahnya akan menyusul untuk sisi ini.
Maklum pada masa itu, belum ada android bukan? Berkomunikasi dan menyatakan niat perlu persiapan ekstra, sebab semua pernyataan harus secara langsung. Banyak yang gagal pada fase menyatakan ini.
Entah Siapa Yang Mengabarkan
Suatu ketika Violeta jatuh sakit.
Tanpa ia ketahui, entahlah jika mungkin Nurhayati yang mengabarkan ke Hamid Idrus, tiba tiba saja lelaki tersebut sudah hadir mengetuk pintu rumahnya.
Tentu bukan mencari Violeta tapi Kak Jum. Sebab sampai saat itu, hubungan mereka belum diketahui orang serumah.
Jarak antara Lampung ke Solo 884 Km, dengan perjalanan darat selama 24 jam, merupakan jarak yang tidak dekat. Jika masa sekarang cukup dengan mengirimkan chat, minum obat dan jangan lupa makan.
Maka dulu dengan tenaga, waktu juga biaya. Harus berkorban untuk urusan rasa.
Akhirnya, pada masa ia melanjutkan pendidikan pada Perguruan Tinggi. Mereka berdua lepas kontak, tanpa kabar.
Jln Polos Dengan Kenangannya
Dalam teori tumbuh kembang keluarga, telah sampai pada melepas anak (dewasa) untuk keluar rumah, melanjutkan pendidikan maupun menikah.
Jika 2 orang (Nurjanah, Dewy) telah menikah, kini rumah itu telah sepi, sebab Eni (Violeta atau Achir Yani) sebentar lagi harus pamit. Sebelumnya Shantory lebih awal ke Universitas Gadjah Mada Djogjakarta.
Maka pada rumah itu, pada tahun 1972, tinggal Indra Jaya sendiri sebagai anak. Dan juga Agus Thoriq (anak pertama Kiswaty). Sepi.
Syuhaimie dan B. Mirna, memberikan dorongan dan kesempatan kepada anak-anaknya melanjutkan pendidikan, meski hati kecilnya menolak. Sebab anak penurut dan periang yang ulet belajar tersebut, harus pergi.
Nurjanah (Suami: KMS Mamat), Dewy (Suami, Ir. M.Sadik) di Palembang dengan suami, Kiswaty (suami: Dr Abdul Mun’im Idries Sp F(K)) pun begitu, sambil ia kuliah di Jakarta. Shantory ke UGM (kelak ia menikah dengan Ernawati).
Waktu berjalan begitu cepat, kini menyusul Achir Yani, juga harus meninggalkan rumah itu, setelah bersimpuh menjabat tangan keduanya. Mencium tangannya.
Airmata Eni jatuh.
Tak kuasa membendung ledakan kesedihannya.
Sebuah perpisahan awal dengan ayah ibu.
Ayah ibunya tersenyum, namun batinnya teriris, seakan ada bagian tubuhnya yang hilang. Ada airmata yang mengendap, namun mereka menahan deraiannya.
Ayah Ibu Pamit
Pada tahun yang sama (1972), sang ayah harus pamit meninggalkan rumah itu bersama ibunya, ke Kalimantan, karena mendapatkan tawaran kerja pada sebuah perusahaan kayu. Timber coorporation. Campnya di Kenanga. Balikpapan.
Akhirnya, mereka (Ayah, Ibu dan Agus Thoriq) berangkat ke Pulau Borneo. Sementara Indra Jaya, ikut Shantory ke UGM. Melanjutkan pendidikan SMA di Kota Budaya tersebut.
Jln Polos yang memiliki kenangan mendalam, merapikan memori. Meski usang oleh waktu namun tak terhapus seluruh nostalgianya. Ingin diraih untuk kembali, namun waktu tak bisa berputar untuk ke zaman itu, seperti dinginnya alamnya ketika pagi hari dengan embun yang memeluk rerumputan.
Achir Yani Melanjutkan Pendidikan di Keperawatan
Memilih jurusan keperawatan bukan tanpa alasan, dengan preposisi beberapa hal, yakni: Suatu ketika ibunya membantu melahirkan ibu yang tinggal pada bagian belakang rumah. Ia ikut terlibat pada proses itu.
Sebelumnya, yakni ketika Umur 9 tahun terkena Tipes dirawat Di RS Sungai Gerong, ia tertangani oleh seorang Perawat asal NTT.
Dengan kesan sangat indah, serta merasa sangat nyaman, dengan pelayanannya.
Maka semenjak itu ia putuskan untuk mendaftar di sekolah keperawatan.
Tepatnya pada Akper Depkes Jakarta Jln Kimia.
Adalah Kiswaty yang bertugas mengantarnya untuk ikut ujian.
Pada kampus tersebut ia betemu dengan Budi Anna Keliat (senior). Yang tak lain seniornya tersebut menjadi kakak senior, yang tegas dan tidak segan mengunci ruangan kamar.
Agar mereka fokus belajar (tidak hanya menonton TV) pada asrama tersebut.
Budi Anna Keliat (kelak menjadi Professor), baca di: Fondasi Luhur Untuk Prof Budi Anna Keliat, Usor-Usor. Ada Setyowati (juga professor) yang satu angkatan.
Selain itu Prof Yeni Rustina dan Prof Junaiti, sempat menjadi junior (adik kelas) dan bahkan menjadi mahasiswa bimbingan setelah saya diangkat sebagai dosen di Akademi Keperawatan.
Pada posisi seniro yang lain, ada Prof Elly Nurachmah (Guru Besar Pertama Keperawatan Indonesia) dan Prof Ratna Sitorus.
Kesemua nama tersebut saat ini menjadi guru besar pada Fakultas Ilmu Keperawatan Perguruan Tinggi kebanggaan Indonesia, UI!
Kisah lengkap masa kuliah ada pada artikel berikut: Tulisan Kedua: Achir Yani Kuliah Di Akper Depkes Jakarta.
Kesimpulan
Pada akhirnya, kita bisa menyimak, bahwa nilai keberanian, keluhuran budi dan sikap rela berkorban dan berjuang di dapatkan Achir Yani saat masih kecil dengan melihat ayah dan ibunya.
Ayah mengajarkan keberanian, kemandirian, serta kedisiplinan, sementara ibunya, memberikan rasa kepedulian, pemurah hati dan pemaaf.
Selain itu, dalam mencapai suatu cita-cita maupun kebutuhan, maka harus rela untuk berjuang dengan keras.
Ia pernah menjadi pedagang pasar, kini pengalaman itu sangat indah buatnya saat menjadi seorang Professor. Serta mencetak rekor tak terpecahkan “Professor Keperawatan Jiwa Pertama Indonesia”, perempuan asal Komering.
Bermain kasti adalah permainan yang ia kuasai, dengan gesit dan mampu memprediksi arah lemparan bola, sehingga dengan gerakan ringan mampu menghindarkan badannya dari lemparan.
Loncat dari papan loncat dewasa pada kolam renang adalah aktifitas yang ia kecil pada masa kecil, tanpa rasa takut, ia menjadi pemberani.
Semoga artikel ini memberikan inspirasi buat kita semua, terutama kepada insan profesi keperawatan tanah air, wallahu wa’lam!
Sumber:
- Wawancara Langsung (Achir Yani, Dj. Shantory, Kiswaty RM, R. Dewy)
- Biodata Prof Achir Yani, Nursing UI
- Profil dosen UI
- FK-UB, Dosen Keperawatan
- Asal Mula Komering, Okutimurkab.go.id
- HUT PPNI Ke 42, Kalbarprov.go.id
- Asal Usul Komering,
- Berita Sungai Musi
- Profil Perusahaan PT Stanvac.
- Profi Perusahaan, dpr.go.id
Luar biasa sekali kisah Prof Yani. Menginspirasi kami semua. Salam sehatbjiwa Prof
Luar biasa sekali Prof. Yani, terimakasih inspirasinya
Pengalaman yg luar biasa..menjadi inspirasi kita semua…sukses Prof Yani…kebanggaan perawat Indonesia…
Pengalaman yg luar biasa..menjadi inspirasi kita semua…”maju terus pnatang mundur..’
Luar biasa perjalanan prof achir Yani, sangat berkesan bagaimana kedekatan keluarga membentuk beliau hingga kini.. salam salut dari saya prof sangat inspiratif
Keren….sangat menginspirasi. Semoga jejak ini dapat diikuti oleh perawat2 yg lain. Salam hormat dari kami perawat jiwa Aceh.
Ns. Hasniah,.M.Kep. Sp.Kep.J
Sukses Selalu Prof… Sangat menginspirasi.. Semoga menjadi amal jariyah bagi Prof atas dedikasi Prof di dunia Keperawatan…
Prof yani, salam hormat dari pulau NTT