Achir Yani Syuhaimie, telah menyelesaikan studi pada SMA Yos Sudarso, selanjutnya ia melangkah untuk mewujudkan cita-citanya, pada akhir tahun 1972.Disposita Prasecepta, Profesi – Organisasi.co.id
Biografi Platinum Level ini, merupakan kelanjutan dari kisah Prof. Achir Yani S. Hamid, M.N., D.N.Sc sebelumnya: Achir Yani Syuhaimie Hamid Dari Komering Hingga Prof di FIK UI (1).
Pamit Dan Bersimpuh
Ia menundukkan badannya, mengulur tangan dan meraih tangan ibunya, mencium tangan yang selama 17 tahun bersamanya.
Ia hendak pergi, menuju kota besar Jakarta yang ramai meski tak semacet hari ini. Pagi yang sejuk, Ia bersimpuh pada ibunya, kemudian menjabat tangan adiknya Indra Jaya, anak bungsu tersebut menghapus airmatanya.
Tampak mata adiknya memerah menahan kesedihan, Achir Yani semakin tak kuasa. Ia memeluk adiknya. Hingga kemudian hari, adiknya tersebut pamit untuk pergi selamanya pada 28 Sept 2021.
Pagi itu, becak yang dikendarai pak tua berhenti tepat di depan rumah jalan 15 Polos, kediaman Eni (Panggilan Akrab Achir Yani). Bersama ayahnya Syuhaimie, mereka hendak berangkat ke Jakarta.
Dengan becak, ia menuju ke terminal, yang dari terminal tersebut mereka memilih angkutan umum berupa Bus menuju ke Pelabuhan Panjang.
Perjalanan ini memakan waktu 15 menit dari Jln 15 Polos ke Terminal, pak tua mengayuh becak, terkadang terdengar suara mendehem, ia sudah tua.
Suara nafasnya sesekali tersengal. Bersamaan dengan bunyi rantai becak yang merenggang. Terkadang pelan karena menghindari jalan yang berlubang.
Namun ia tetap mengayuh becak, untuk bisa bertahan hidup pada kondisi ekonomi bangsa yang carut marut ketika itu.
Akhirnya sampai juga ke terminal, terdengar suara ramai terminal, para sopir menyapa penumpang untuk mengisi penuh mobilnya.
Beberapa lelaki menawarkan untuk mengangkut barang Yani, namun dengan lembut perempuan tersebut menjawab lembut, bahwa ia bisa melakukannya sendiri.
Yani menurunkan barang bawaan, dan membayar berlebih dari kesepakatan.
Lelaki tua itu mengangguk seakan melafaskan doa dan syukur. Pak tua mengangkat roda belakang becaknya memutar arah kembali. Kemudian berlalu, sekali lagi ia menoleh menatap Eni, sambil mengangguk.
Organisatoris lain membaca ini: Daftar Professor Keperawatan Indonesia
Achir Yani Memilih Posisi Duduk
Eni, mengambil posisi duduk pas pada kursi kedua dari belakang sopir. Bus orange tersebut adalah sejenis bus tua, yang mulai keropos.
Bunyi besi dari partisi-partisinya mulai terdengar saat terguncang karena beberapa aspal yang terlubang.
Beberapa kursinya telah terkoyak karena termakan usia. Belum pula asap kendaraan yang menghitam.
Entahlah, jika sopir bus ini hendak bersaing dengan asap kendaraannya, sebab asap rokoknya mengepul seakan tidak mau kalah.
Bus melaju dan Eni mencoba menoleh kebelakang, berharap bisa melihat rumahnya, yang kini tinggal hanya ibu, Indra Jaya (adik bungsu) dan Agus Thoriq (Ponakan/anak Kiswaty).
Namun ia menelan air liur, sebab tak tampak lagi rumah itu, ia hanya menyaksikan pohon-pohon berbaris, layaknya pasukan paskibraka yang kokoh.
Memasuki area Tegineneng (Metro Lampung), dengan tangan kanannya membuka jendela, hingga angin berhembus mengarah kewajahnya. Bersamaan dengan masuknya suara derik ban mobil dan bunyi mesin yang nyaring.
Rambutnya terurai dan terkepang dua, sesekali ia posisikan karena terhempas angin yang menyapu wajah dan rambutnya.
Kota Metro kemudia memasuki Tegineneng kemudian Bus belok kiri ke arah Bandar Lampung, selanjutnya melaju menuju Pelabuhan Panjang.
Ada hamparan hijau yang sangat luas, seimbang dengan luasnya lapangan golf, dan seakan hamparan hijau ini dijerat oleh aliran Sungai.
Hamparan ini merupakan penyekat kesedihannya, dan sesekali ia memfokuskan pandangan pada dangau (rumah ditengah sawa), pada sisi pematang tampak petani dengan caping yang menghias kepalanya, meski itu masih pagi.
Bus terus melaju meninggalkan Metro, sawah yang luas ada di sebelah kanan dan musim panen belum tiba, yang tampak adalah sejuknya pagi dengan bedengan-bedengan sawah seperti berdoa.
Sisi kiri jalan ada kali memanjang sepanjang jalan, seakan menjadi pengawal dan berujung pada irigasi.
Pelabuhan Panjang
Gadis asal Komering ini, telah sampai pada pelabuhan Panjang.
Dulu bernama pelabuhan “Oesthaven”, sebagaimana pada abad ke XVII, untuk membantu pengiriman rempah-rempah maka Pemerintah Hindia Belanda, membuat pelabuhan pada Teluk Betung.
Antri untuk membeli tiket, berdesakan sebab takut ketinggalan kapal, pada akhirnya ia dan ayahnya mendapatkan tiket pada kertas dengan berwana biru itu.
Ini bukan pertama kali Eni naik kapal laut, sebelumnya pada akhir tahun 1954, saat ia masih bayi sekali (usia 2 bulan). Ketika itu tujuan ke Bandung, oleh karena ibunya hendak belajar membuat jas.
Saat itu, Ibu, Kiswaty, Dewi dan Achir Yani berangkat melalui pelabuhan yang sama. Membeli tiket, tanpa tempat istirahat (maklum kondisi keuangan saat itu belum stabil).
Maka dengan menggunakan koper berwarna cokelat, Yani di baringkan dalam koper besar tersebut, dengan beralaskan pakaian yang tersusuan apik.
Kini ia bersama ayahnya, sebagaimana 17 tahun yang lalu (tahun 1954) sang ayah tidak ikut, karena sibuk bekerja.
Pada kapal tersebut terdapat restoran sebagai tempat beli makanan, juga ada geladak pada bagian depan.
Belakang dan samping kapal, biasanya ada penumpang yang hanya bayar karcis, naik kapal tapi tidak menyewa ruang khusus untuk istirahat. Sebagaimana ini pengalaman keluarganya saat masih bayi.
Sendalu Di Laut
Anjungan kapal. Pada sisi ini terdapat tempat untuk berdiri menatap laut lepas, dengan sendalu yang datang menyapa kapal ferry itu. Silih berganti angin buritan dan angin haluan.
Achir Yani berjalan mendekati anjungan kapal, pada kecepatan kapal rata-rata, terdengar bunyi mesin seirama dengan getaran kecil pada lantai kapal ferry tersebut.
Tampak pada semburan air mengikuti badan kapal memanjang, meninggalkan buih, sesekali ikan-ikan kecil kelihatan melompat, atau menyapa permukaan laut, hingga meninggalkan jejas gelombang.
Seperti perempuan sedang tidur, ada pulau anak krakatau, seperti fokus pada lensa kamera tele. Yani Mengunci objeknya.
Indah dan kesepian dilaut. Dari kapal ini pulau tersebut tersamar namun sangat jelas oleh Yani, sesekali ia melihat burung yang bermain diantaranya.
Banyak muda mudi seumuran Eni berdiri pada anjungan ini, sesekali ada yang menatap kearahnya. Lelaki tersebut hendak mengulur tangan namun segan untuk meneruskan.
Lelaki itu sibuk membakar rokoknya, berulang kali mencoba, sebab tiupan angin menyebabkan pemantiknya tak menghasilkan api.
Achir Yani menyilangkan tangan pada besi pembatas, sesekali ia menitip dagunya pada besi pembatas tersebut, meski kapal ferry ini sudah tua, namun masih gesit. Namanya KM Nusantara.
Terdapat kamar dengan tempat tidur bertingkat, anak buah kapal hilir mudik. Juga ada semacam ruang makan, dengan harga 3 kali lipat saat masih didarat. Monopoli ekonomi.
Parkiran mobil juga bertingkat, ada yang mengisi geladak, juga terdapat pada lantai dua tempat memarkir kendaraan. Beban berat, terasa, ketika lambung kapal menggeser air laut, atau melawan gulungan ombak.
Mata Eni seperti mata elang, fokus pada gelombang-gelombang yang hilir mudik.
Organisatoris lain membaca ini: PPNI: Ketua Dari Masa Ke Masa
Pelabuhan Merak
Selama 4 jam perjalanan, akhirnya dari kapal ini dia bisa menyaksikan pulau tempat terikatnya pelabuhan Merak, Cilegon Banten. Ketika itu masih menjadi wilayah provinsi DKI Djakarta.
Eni melihat pulau dari kejauhan dengan warnanya membiru, perlahan kapal terus menyusuri air laut, hingga tampak ramai kapal lain, yang hendak bersandar.
Kapal-kapal menunggu waktu dari antrian untuk merapat pada pelabuhan.
Kisah Pelabuhan merak ini menyisakan peristiwa 17 tahun lalu, ketika ibunya ke Bandung, yakni saat hendak meninggalkan kapal menuju pelabuhan.
Ibunya membawa 4 anak (Kecuali anak kedua, yakni Nurjannah yang aktif menggaji di Plaju bersama kakek Oemar Prabu).
Maka, saat hendak turun dari kapal, sang ibu mengikat lengan anak-anaknya (antara Shantory dan Dewy), dan sang bunda memegang lengan Shantory yang lainnya.
Dengan menggunakan kain yang panjang, sambil menggendong Eni kecil. Kecuali Kiswaty yang sudah bisa mandiri yang tidak diikatnya.
Sapu tangan ini menjadi jalan penyelamat Dewy yang hendak menjadi target penculikan anak. Posisi tangan Dewy sudah ditarik oleh OTK (orang tak dikenal).
Namun karena posisi terikat, sehingga peristiwa ini gagal. Ibunya fokus pada gendongannya sebagaimana Achir Yani yang menangis ketika bising waktu itu.
Sempat sang penculik mengaku bahwa itu anaknya, namun akhirnya tertunduk malu sebab melihat ikatannya.
Hari ini Eni yang sudah gadis ditemani sang ayah, akhirnya turun dari kapal laut tersebut, setelah beberapa jam menunggu giliran untuk bersandar.
Rumah Kiswaty
Ia tiba dirumah Kiswaty, setelah menempuh perjalanan darat (dari Merak ke Jakarta) sekira tiga jam. Ayahnya menyerahkan kepada anak sulung. Untuk mengatur dan menjaga Eni.
Kiswaty adalah kakak yang penurut, semua prilaku ibu tercopy paste 90%, dari kesabaran dan keuletan. Yang sedikit berbeda adalah tegasnya.
Sangat tegas bahkan kepada Achir Yani. Tak pandang bulu ia siap atau tidak, jika melanggar maka semua terbayar tunai.
Rumah itu terdiri dari 3 bagian, ketika masuk dari gerbang, ada teras, terus keruang tamu kecil, sebagai ruang tamu. Terdapat 4 kamar.
Pada samping kiri ada Paviliun, dengan 2 kamar, sedangkan pada bagian belakang, terdapat 4 kamar bagian bawah dan 3 kamar bagian atas.
Kiswaty yang masih di rumah mertua indah, menempati Paviliun. Eni menempati kamar bersama ponakannya pada paviliun tersebut, Elita.
Pada rumah ini, persiapan mendaftar ke Akper Depkes Jln Kimia Jakarta. Sebagaimana kampus tersebut berposisi hanya berjarak 400 meter Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Yani ditempat kakaknya ini, mandiri mengurus diri, posisi ibu tergantikan oleh kakak sulungnya. Sehingga kepatuhannya kepada sang kakak tidak berubah sebagaimana ia patuh kepada ibu yang sabar dan lembut.
Setiap hari, Eni menggunakan kamar mandi diantara bangunan utama rumah itu dengan bagian belakang. Sumur pompa, maka ia menggunakan energinya mengangkat air, dan bunyi gemeresik air mengisi kolam.
Posisi haluaran pompa sumur tersambung dengan piva kedalam kolam.
Juga ketika ia mencuci pakaian, sekali waktu ia menggunakan timba untuk mengangkat air. Kini ia lakukan sendiri, sebab Shnatory tidak lagi bersamanya sebab kakaknya tersebut melanjutkan pendidikan juga di UGM Djogjakarta.
Izin Bersyarat
Suatu ketika, ada temannya yang bertamu, namanya Hamid Idrus. Ia datang menemui Yani. Selaras kemudian ia pamit dan hendak mengajak Yani untuk keluar bersama.
Kiswaty tidak mengetahui bahwa Hamid Idrus ini memiliki keluarga yang akrab dengan orangtuanya ketika di Lampung.
Maklum Kiswaty sudah melanjutkan pendidikan di Jakarta saat keluarganya masih di Siolo, maka ketika keluarga Eni pindah ke Lampung, dari Siolo (dekat Palembang), Yuk Kis (panggilan Kiswaty oleh adik-adiknya) tidak mengikuti ikatan kisah di Jln 15 Polos.
Selain itu Hamid Idrus adalah sahabat akrab Shantory, dan memang teman SMA. Juga Hamid Idrus merupakan pengunjung setia perpusatkaan Yani, dengan isi buku-buku, salah satunya kiriman Kiswaty.
Mereka pamit, hendak menjenguk ibu Hamid Idrus yang sakit. Yani menuruti itu, maklum dia sangat mengenal ibu tersebut.
Mereka mendapatkan izin dengan satu syarat, pulang sebelum pukul 20.00.
Namun ternyata karena angkutan umum yang telat, sehingga mereka berdua terlambat pulang.
Sendalu Menjadi Langkisau
Kiswaty yang memiliki kebiasaan tertidur pada pukul 20.00, sebuah kebiasaan yang tidak berubah semenjak mereka serumah di Sungai Gerong. Saat itu tidak bisa memejamkan mata.
Ia sesekali mondar mandir dan menuju jendela mengintip keluar. Tepat pada pukul 21.30, mereka berdua tiba di rumah itu, sesaat setelah bunyi jam setengah.
Tanpa mengetuk pintu, dari dalam Kiswaty telah berdiri pas dipintu, dengan tangannya menarik daun pintu rumah tersebut. Sedikit menghempas.
Matanya tajam, ke arah Yani dan Hamid Idrus. Keduanya hendak tersenyum, namun terhenti dan hambar kehangantannya.
Kamu dari mana? Saya telah mencarimu ke kamar jenazah, kamu tidak ada. Saya pikir kamu tertabrak kendaraan. Cegatnya. Ini jam berapa, dan kamu (mengarah ke Yani), ini Jakarta.
Keduanya menunduk, mulut Hamid Idrus terkunci dan mengakui kesalahan itu. Sementara Yani yang sebelumnya menikmati sendalu ketika di Ferry, kini berubah menjadi Langkisau (puting beliung). Terlambat 1 jam adalah hal fatal.
Tidak ada waktu menjelaskan keterlambatan. Setiap mereka hendak berbicara, Kiswaty memotong, bahwa 30 menit kemudian jika belum tiba maka Polisi akan mencarinya.
Guru Besar Keperawatan Jiwa Pertama Indonesia tersebut sejak di tahun 2006 tersebut sangat ketakutan dengan narasi terakhir itu.
Akhirnya, Hamid Idrus merasa bersalah. Ia memohon maaf, dan Kiswaty mengangguk ringan tanpa kata, hingga berselang beberapa waktu ia pamit dari rumah itu.
Langkisau ini tidak berulang sebab semenjak itu Achir Yani tidak berani lagi melakukan pelanggaran.
Organisatoris lain membaca ini: Profesi: Arti, Ciri Dan Persyaratan
Achir Yani Mendaftar Di Akper Depkes
Peristiwa Achir Yani mendapatkan teguran keras Kiswaty, pada saat itu adalah masa pendaftaran di Akper Depkes, dengan jadwal ujian pada pagi hari.
Kakaknya tersebut takut jika Achir Yani bangun terlambat.
Selain itu, amanah ayahnya adalah sebuah keharusan yang harus ia jaga.
Maka tegas adalah sikap menyatu dalam dirinya terhadap adik-adiknya merupakan prinsip yang tak mungkin Ayuk Kis (panggilan akrab Kiswaty dari adik-adiknya) tipe x.
Tibalah waktu mendaftar pada kampus tersebut, kedua orang bersaudara asal Komering ini menuju Jln Kimia 15 dan 17, posisi Akper Depkes Jakarta ketika pada tahun 1972 tersebut.
Terdapat lebih dari seribu pendaftar, sebagaimana kampus ini menjadi kampus terfavorit bidang keperawatan di negara ini. Maklum ketika itu hanya ada 2 kampus (Perguruan Tinggi) keperawatan, yakni Akper Depkes Jakarta dan Carolus yang berdiri tahun 1962.
Oleh karena Akper Depkes mendapatkan fasilitas negara, termasuk asrama, maka ia memilih mendaftar pada kampus tersebut.
Dari ribuan yang mendaftar, tersaring hingga hanya 30 yang tersisa, dengan model penyaringan berupa test: Tertulis, wawancara, psikotest dan kesehatan fisik.
Meski memiliki 4 lapis test, maka ia berhasil melewatinya, akhirnya nama Achir Yani terpajang pada papan pengumuan, melalui kertas dengan menggunakan mesik ketik manual (sebelum ada komputer).
Kiswaty yang paling sibuk dengan urusan test Eni. Eni hanya duduk menunggu sambil memperhatikan kakak sulung tersebut berdesakan melihat setiap panitia menempelkan pengumuman.
Nama Achir Yani Pada Angkatan XI
Pada angkatan XI terdapat beberapa mahasiswa, seperti:
- Achir Yani,
- Ambar Rustam,
- Anindiarti,
- Diah,
- Erdawati Tahar,
- Etty,
- Elvy Ilyas,
- Hanumah,
- Hari Mustikawati,
- Lasmaria Sitorus,
- Lasmaria Sitanggang,
- Lindawati,
- Masyita Zuraida (almh),
- Meinita Ramli (almh),
- Murtiwi,
- Nur Purwati,
- Pranaswati,
- Rahayu Sudiarti (Drop Out, Pindah Kampus Ke UI),
- Rini,
- Rita Herawati,
- Rukmini,
- Sarifah,
- Setyowati,
- Sri Martuti (almh),
- Suparyanti (almh),
- Syafniwati,
- Umiaty Yuanita,
Lulus tidak bermakna aman, sebab ada masa percobaan selama 1 tahun. Yani dan 29 orang lainnya. Drop Out masih membayangi dan biasnya ikut dalam langkah mereka. Melanggar fatal maka kartu merah.
Maka tidak heran, dari nama yang lulus tersebut, tidak semua sampai pada garis finis (wisuda), sebab ada yang memilih melanjutkan pendidikan pada kampus lain, ada yang dikeluarkan ataupun ada yang menghilang tanpa kata.
Memulai masa kuliah pada kampus favorit tersebut, menggunakan papan nama berwarna hijau (mahasiswa tingkat satu (1)).
Dari Jln Kebon Jeruk IX Kel Maphar Kec Taman Sari, Jakarta Barat ke Jalan Kimia Jakarta berjarak hampir 10 kilometer, dengan naik angkutan umum.
Selama 2 bulan ia bolak balik pada dua tempat tersebut, hingga akhirnya ia berpikir bahwa dengan jarak yang jauh, memakan waktu dan biaya.
Maka jalan yang baik adalah mencari rumah kost yang aman mendekati posisi kampus. Sebab percobaan selama satu tahun, dengan kesalahan ringan bisa menyebabkan ia drop out.
Termasuk ketepatan absen saat pagi. Achir Yani yang terbiasa disiplin dan sangat menjaga agar tidak ada huruf a (tanda alpa) pada absensinya.
Ospek Dan Capping day
Lulus ujian masuk, maka tiba waktu mengikuti proses orientasi pengenalan kampus (Ospek). Saat tahun 1972, sebagaimana kampus lain pada saat itu melakukan kegiatan orientasi yang “keras” dan disiplin.
Menyerupai proses latihan angkatan bersenjata.
Meski tidak sama dengan kampus lain, namun Ospek pada kampus ini juga menyelenggarakan pada keparalelan dengan Univerisitas
“Abortus” adalah nama mahasiswa baru untuk Achir Yani. Abortus adalah keguguran, atau kematian janin dalam kandungan sebelum mencapai umur kehamilan 20 minggu.
Ospek tersebut juga ada kunjungan ke kamar jenazah, bermaksud agar dalam bekerja tidak memiliki rasa ketakutan. Maklum, alumni kampus ini ada kemungkinan akan dikirim keberbagai penjuru Indonesia.
Meski tidak akan merawat jenazah, namun tujuan orientasi ini adalah meningkatkan mental Yani dan kawan-kawan, meski sebenarnya perempuan asal Komering ini tidak memiliki rasa takut pada hal mistis demikian.
Gambar diatas merupakan suasana sebelum kegiatan Capping Day dalam ruangan, untuk angkatan XI Akper Depkes Jakarta.
Capping Day, merupakan sebuah prosesi yang ada pada saat ini. Merupakan hari pemasangan Cap (yang dikepala), dengan narasi Florence Nightingale sebagai salah satu tokoh pelopor keperawatan modern dunia ( Capping Day).
Umiaty Yuanita, bertugas memegang lilin. Auditorium Akper Depkes menjadi saksi prosesi sakral ini, sebagaimana kegiatan ini turut pula dihadiri oleh Kepala Dinas Kesehatan Jakarta, lengkap dengan civitas akademika.
Meski belakangan memunculkan berbagai perdebatan, bahwa ada nama lain seperti Rufaidah atau Florence Nightingale. Dalam hal siapa perawat pertama dunia.
Namun kedua proses ospek dan Capping day merupakan sebuah proses yang menarik.
Jika Ospek hilang setelah reformasi tahun 1998. Sebab dianggap kegiatan tidak menghargai hak asasi manusia.
Maka entahlah, sejak kapan Capping day ini menjadi bukan lagi prosesi pada kampus keperawatan tersebut?
Kost Achir Yani Jln Paseban
Setelah mendapatkan beberapa pertanyaan alasan ngekost dari Kiswaty, akhirnya ia mendapatkan izin untuk tinggal sendiri secara mandiri.
Inilah awal ia tinggal tanpa dengan orangtua maupun sanak saudara, mutlak harus bisa menjaga diri dan selalu mawas diri.
Pada Jln Paseban no 62 tersebut yang berjarak dekat dengan Fakultas Kedonteran UI, ia tinggal bersama teman kuliah bernama Sarifah asal Kalimantan, sesama angkatan XI di Akper Depkes itu.
Jarak rumah kost dengan kampus sekira 2 kilometer, yang ia tempuh dengan naik bemo ataupun becak berdua.
Pada rumah ini terdiri dari 3 kamar, dengan pohon besar yang ada pada pekarangan, posisi rumah pada bagian ujung sehingga sangat tenang untuk belajar.
Eni dan Sarifah masing-masing satu kamar, sementara kamar lainnya ditempati oleh seorang nenek tua penjaga rumah itu.
Selain 3 kamar, juga terdapat ruang tamu dan ruang makan. Pada ruang tamu tersebut tempat bercengkrama dengan sahabat-sahahabt seangkatan yang berkunjung.
Sesekali Hamid Idrus datang ke rumah kost ini membawa beberapa kebutuhan seperti susu dan lainnya.
Selama 6 bulan ia menyusuri jalan-jalan yang menghubungkan Jln Paseban ke Jln Kimia, jika kondisi uang saku mulai menipis maka jalan kaki adalah alternatif utama, tentu bersama Sarifah.
Pemali baginya meminta uang tambahan. Achir Yani yang kelak menjadi Ketua Umum DPP PPNI (baca: Ketua DPP PPNI Dari Masa Ke Masa).
Tidak akan mengadu kepada keluarga soal kekurangan, padahal pada masa itu bisa saja ia mengadu dengan meminta tambahan dana dari ayah yang bekerja di Kalimantan.
Proses Perkuliahan Tahun Awal
Saat itu kampus yang akhirnya pindah ke Jakarta Timur, menjadi Poltekkes III, dipimpin oleh seorang Direktur, bernama Karsinah Sinang.
Kemudian terdapat beberapa dosen senior Junarsih Sudibjo, Juslida Julinas, sebagaimana mereka merupakan angkatan pertama dan kedua pada kampus ini.
Pada saat tingkat dua awal, kegiatan proses belajar berikutnya adalah orientasi pasien di RSCM. Dengan dosen pendamping: Astuti, Suwarni Asman, Sunarsih, dan Dewi Irawati serta Netty Sofyan (alm).
Ia masuk pada bangsal A (ruang rawat inap) penyakit dalam, kegiatan orientasi ini belum secara mandiri melakukan tindakan kepada pasien. Tanpa pendampingan. Dengan volume kegiatan, 2 kali dalam seminggu.
Namun meski berstatus melakukan orientasi, tapi kegiatannya tetap mengikuti jadwal sebagaimana laiknya petugas kesehatan lainnya.
Datang sebelum pukul 07.00 dan hanya bisa pulang setelah pukul 14.00 (dinas pagi).
Bukan karena takut tidak lulus percobaan selama setahun, sehingga Yani rajin serta tepat waktu, namun menjadi kebiasaannya. Sebagaimana ajaran ayahnya yang selalu tepat waktu.
Eni saksama dalam urusan waktu, ia menghindari membuat alasan dengan dalih macet, ketiduran atau bahkan menyebutkan kedukaan (kakek meninggal, padahal kakek meninggalnya 5 tahun lalu).
Ia tidak akan melumuri keterlambatannya dengan argumen-argumen memelas. Sebab ia piawai dalam hal ketepatan waktu.
Mata Kuliah Yang Sulit
Kuliah dengan studi ilmu-ilmu kesehatan, memiliki tantangan tersendiri. Salah satunya adalah mata kuliah Ilmu Saraf atau neurologi.
Ilmu saraf itu menganalisis sistem persarafan dan otak. Dalam mempelajarinya harus cermat, sebab jika salah bisa saja yang belajarnya yang saraf.
Ada seorang dosen bernama Dr. Sumarmo Markam, SpS(K) suami dari Prof. Suprapti Sumarmo Markam. (kelak dr. Sumarmo Markam, SpS(K) berpredikat sebagai professor).
Pada dosen yang sudah berumur ini, nilai 6 atau setara dengan C adalah nilai terbaik rata-rata pada mata kuliah ini.
Nah kan? Belajarnya begitu rumit, namun nilai tidak memuaskan, benar-benar tantangan tersendiri untuk mata kuliah ini. Namun tiada waktu untuk menangguhkan mata kuliah ini, suspensi pun.
Hal menarik dari dosen ini adalah kesederhanaan, senang naik angkutan umum (bukan mobil pribadi). Warna jas dokter yang tidak putih bening lagi.
Bukan karena keterbatasan hingga ia tidak membeli baju. Tapi prinsipnya dalam hidup, yang fundamental adalah pelayanan juga kebaikan, Bukan pada corak dan warna pakaian.
Semenjak itu, ia mulai tertarik dengan kepribadian dosen tersebut. Hingga mata kuliah ini, secara esensial ikut menjadi kesukaannya.
Alhasil, pada akhirnya Achir Yani menyesaikan tugas akhir pendidikan (skripsi) dan Dr. Sumarmo Markam sebagai pembimbingnya.
Achir Yani Semester II dan Masuk Asrama
Rumah kost, Jalan Paseban, melintang Jln Salemba. Pada tarikan garis lurus Jln Paseban ini menjadi tempat hunian pada sisi kanan, sementara pada bagian kiri adalah deretan toko.
Sampai pada titik tersekat ruang buntu belok kekanan, Rumah permanen dengan teras, lengkap daun-daun tanaman merambat, rumah tua dengan pohon besar ini. Akan ia tinggalkan.
Sebab ia lulus dari masa percobaan, dan padanya berhak menikmati fasilitas asrama.
Kebersamaan dirumah kost tinggal kenangan, seperti ketika dijemput oleh Hamid Idrus, dan bertiga dengan sarifah makan diluar.
Sore itu, Kiswaty membantu adiknya membereskan barang, lengkap makanan kering, bekal awal selama masuk asrama.
Berupa kripik mustopa (kentang sebesar lidi bertabur cabai) hingga teri tambah kacang cabai serta rendang, makanan yang awet beberapa hari. Juga ada abon daging. Dalam wadah toples.
Juga ada ember, gayung, perlengkapan mandi, dipersiapkan oleh Kiswaty
Kiswaty menyiapkan mobil untuk mengangkut barang bawaan Achir Yani juga Sarifah.
Ia kini memasuki semester dua, dan ketika tinggal pada asrama, ia menempati ruangan yang besar. Berisi 15 orang, bercampur ada senior.
Sebutlah namanya: Hana, Ambar Rustam, Meinita Ramli, Pranas, Setyowati, Umiaty Yuanita adalah mahasiswa tingkat II, selebihnya para senior.
Ada yang tegas, pendiam, ada yang perhatian, serta ada pula yang acuh serta beku dalam berkomunikasi.
Senior yang tegas namun care diantaranya Budi Anna Keliat, kisah lengkap silahkan baca pada: Fondasi Luhur Untuk Prof Dr Budi Anna Keliat, Usor-Usor.
Mereka menjaga sikap dalam pembagian tugas selama dalam asrama, masing-masing harus rapi dan meneladan.
Pada asrama ini ada instruktur, yang telaten setiap waktu melakukan inspeksi ke kamar. Tak ada ruang privasi berlebih ketika instruktur melakukan inspeksi.
Peraturan selama di asrama sangat ketat, larangan keluar asrama, serta pada pukul 07.00 pm (malam), pintu asrama tertutup rapat. (Pagi ditutup sampai jam berkunjung pukul 04.00 pm sampai pukul 7.00 pm itu pada hari biasa).
Sementara pada Sabtu malam ahad sampai pukul 10.00 malam. Minggu dan hari libur terima tamu boleh siang, sampai jam 07.00 malam)
Yani Ngefans Willibrordus Surendra Broto
Dengan nama lengkap Willibrordus Surendra Broto Rendra, atau dengan nama panggilan WS Rendra, seorang seniman puisi tanah air.
Julukan burung merak, mendirikan bengkel teater di Djogjakarta, hingga melahirkan banyak seniman dari sana. Gerakan tangannya dan gestur serta intonasi suara yang baik.
Memikat setiap penikmat puisi, membawa terbang ataupun menghempas amarah.
Puisi Surat Cinta (W.S. Rendra), Kutulis surat ini kala hujan gerimis bagai bunyi tambur yang gaib, Dan angin mendesah mengeluh dan mendesah, Wahai, dik Narti, aku cinta kepadamu ! Kutulis surat ini kala langit menangis dan dua ekor belibis bercintaan dalam kolam bagai dua anak nakal jenaka dan manis mengibaskan ekor serta menggetarkan bulu-bulunya, Wahai, dik Narti, kupinang kau menjadi istriku! ...
Kutipan puisi WS Rendra, dengan judul Puisi Cinta, Sumber Adahobi
Pada tahun-tahun Achir Yani kuliah, WS Rendra terkadang pentas pada Taman Ismail Marzuki, pada pukul 21.00.
Bersama Ambar, ia sangat menggemari puisi dengan intonasi dan ledakan ekspresinya.
Mengenang Drama Dan Lompat Pagar
Ada drama dengan judul Mastodon dan Burung Condor, dan beberapa judul drama yang lain. Ambar bersama Yani sangat menggemari menonton drama maupun puisi.
Masa itu, puisi menjadi sebuah proses pembacaan live “mengalahkan channel youtube”.
Ya sah saja sebab saat itu belum lahir Chad Hurley, Steve Chen, dan Jawed Karim, pencipta youtube.
Kabur, bersama Ambar, demi menyaksikan WS Rendra maka Yani harus siap-siap melompat pagar ketika kembali ke asrama dari menonton,
Maka tugas Mamang yang menjadi “juru selamat” setiap mereka kembali, sebab jika Mamang tidak mau berkolaborasi, traktiran bakso akan terlewatkan. (Mamang adalah nama panggilan untuk office boy penjaga pagar pada asrama tersebut).
Entahlah jika Mamang mengambil azas manfaat atas kejadian ini. Sebab setiap mereka (Yani dan Ambar Roestam) hendak kembali ke asrama melewati pagar asrama.
Punggung Mamang menjadi tumpuan, agar kedua gadis ini tidak jatuh ke tanah. Keberanian Yani hilang dalam hal melompat pada malam hari, berbeda ketika masih di Sungai Gerong dan Siolo.
Mamang setia mengamankan mereka dari pelarian, setiap meninggalkan asrama, jangan-jangan memang Mamang suka pada momen memegang tangan kedua mahasiswa ini yah? Hehe.
Bakso Mas Yanto, didepan Asrama ada gerobak dorong, bakso terbaik yang paling laris bagi anak asrama.
Mobil Pick Up dan Plato
Setiap pagi terdapat mobil pick up tua keluar masuk asrama untuk mengantar kebutuhan dapur, seperti sayur, beras dan sebagainya.
Ada jam makan yang teratur, sehingga mahasiswa yang tinggal pada asrama tersebut, selalu makan bersama dalam ruang makan yang tersedia.
Terdapat plato atau food tray (nampan makanan pasien) yang terbuat dari stainless, apa direktur Akper takut, mahasiswa tinggal asrama pecahin piring-piring yah?
Suatu ketika Yani pulang dinas sore, platu miliknya kosong. Sementara ia begitu lapar, maklum pulang pada pukul 21.00.
Ia menoleh ke salah satu nampan atau plato, itu milik dosen. Isinya masih lengkap, ada ayam, ikan dan sayurnya lengkap. Jelas saja sebab itu fasilitas dosen.
Dosen itu adalah Bu Suwarni, yang duduk diruang tamu asrama, sedang menerima tamu.
Yani dan temannya mengambil ayam dalam nampan tersebut, berharap bahwa Ibu Suwarni mendapatkan makanan dari tamunya.
Entah kalau Ibu Suwarni memiliki firasat, bahwa nampannya bisa menjadi sasaran mahasiswa, dia pun memasuki ruang makan dan membuka plato miliknya, ayamnya tiba-tiba hilang (apa kembali hidup tuh ayam?)
Ayam saya gak ada yah? sambil melirik kearah kedua mahasiswi ini, Yani yang ketakutan dengan cekatan menutup ayam tersebut dengan nasi. Untung saja dosennya tidak memeriksa nampan mereka.
Kejadian ini diceritakan Yani pada dosen bersangkutan beberapa tahun kemudian dan memohon maaf atas kejadian hari itu. Sang dosen tersebut tertawa, sambil menepuk bayu Yani. Ya gapapa.
Peristiwa Malari
Malapekata 15 Januari (Malari), terjadi pada tanggal 14 hingga 17 Januari 1974. Geruh gerah yang terjadi dan menyebabkan langit Jakarta berasap.
Hal itu terjadi karena gerakan demonstrasi mahasiswa menentang kehadiran dan investasi Perdana Mentri Jepang. Tanaka Kaukuei.
Peristiwa yang menjadi salah satu peristiwa fatal dan kegentingan negara, sehingga Soeharto memecat Soemitro sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban.
Pengambil alihannya, berpindah langsung ke tangan presiden RI.
Achir Yani mendapatkan bagian dalam sejarah dan tragedi bangsa tersebut. Sebab saat itu ia sedang dinas sore pada UGD/IGD, RSCM. Saat itu ia masih tingkat II dengan papan nama kuning.
Banyak korban yang berjatuhan, meski hingga kini antara Ali Murtopo atau Soemitro sebagai pelakunya ataupun eksponen lain. Namun biarkan saja waktu yang menjawab entah kapan.
Yang pasti adalah pada hari berdarah itu, telah membuat gaduh ruangan pintu pertama penerimaan pasien darurat tersebut.
Ada yang berteriak, menjerit, suara memekik, mendesis menahan sakit hingga yang meraung-raung.
Petugas kesehatan 5 orang termasuk Achir Yani, Etty serta Dr Pati tidak bisa meredam kegaduhan dalam ruangan tersebut.
Mereka para demonstrasn yang terluka parah, dan baru saja berhadap-hadapan dengan aparat.
Pada bagian depan RSCM, asap menebal, mobil Ambulance Jepang mereka bakar.
Jakarta benar-benar penuh dengan api yang terbagi dalam beberapat titik, korban jiwa berjatuhan, yang masuk rumah sakit seakan mencoba berdamai dengan kematian.
Pihak keamanan rumah sakit, melakukan pengamanan terbatas, bahkan mereka menambah jumlah personil yang terlibat.
Efek Chaos Dan Sikap Achir Yani
Saat dinas Achir Yani dengan dokter bedah. Bernama dr Pati. Dokter tersebut mengambil alih kondisi ruangan UGD yang gaduh, menata posisi petugas.
Achir Yani mendapatkan tempat pada bagian dalam yang memiliki tirai, bermaksud mengamankannya sebab ia seorang perempuan.
Takut saja jika para pasien dan keluarga ini bertindak anarkis, maka Yani mendapatkan tugas menginjeksi mereka dengan anti tetanus serum.
Tidak ada satupun yang alpa darinya, semua pasien telah ia suntik sesuai dengan order dari dr Pati.
Pada kondisi gaduh tersebut, banyak kejadian yang mengerikan, dengan benturan, hingga kondisi benar-benar mencekam.
Dalam teori kedaruratan, “abaikan” yang tidak memiliki harapan hidup, dan melangkah pada yang darurat masih memiliki peluang, disebtu Triage IGD.
Ini arahan dari dr Pati, sehingga petugas kesehatan mengambil tindakan dan fokus pada pasien-pasien tertentu.
Penutup pembatas IGD kini telah hilang, sebab demonstras mengambilnya menjadikan penutup badan para korban, secara otomatis para petugas ini melakukan tindakan dengan kondisi “terbuka” dalam ruangan IGD itu.
Dalam kondisi dibalik tirai pada ruangan yang lebih kedalam, Achir Yani tidak tahan duduk sendiri diamankan.
Maka dengan percaya diri ia keluar dari tempat itu dan bertanya kepada dr Pati, apa yang bisa saya bantu dok?
Dokter pati bertanya, apakah kamu bisa menjahit? Achir Yani menjawab dengan menganggukkan kepala.
Maka selanjutnya, iapun mulai menjahit luka beberapa pasien yang ia tangani.
Akhirnya pada malam hari banyak petugas lepas jaga ikut bergabung demi membantu sejawat mereka menangani pasien-pasien yang menjerit kesakitan tersebut.
Sambung Dinas
Efek kegaduhan ini membuat pintu penghubung (jalan pintas) dari RSCM menuju asrama dikunci rapat oleh petugas keamanan, maka dinasnyapun berlanjut ke dinas malam.
Akses dari dan ke Asrama Kampus Akper Depkes terkunci rapat, sebagaimana antara RSCM dan Akper terhubung pada jembatan diatas sungai.
Telepon UDG terus berdering, bercampur dari pasien dan koordinasi dari beberapa rumah sakit lainnya. Sejurus dengan itu, deringan dari kampus juga untuk mengetahui perkembangan terus terkoordinasi.
Kampus dan asrama ingin mengetahui perkembangan kondisi, sebab beberapa mahasiswa termasuk Yani sedang berdinas.
Seakan tanpa henti, pasien korban malari terus berdatangan, lebih dominan dari pasien umum yang tidak ada sangkut pautnya dengan peristiwa kegaduhan itu.
Beberapa petugas kesehatan dari bagian lain menyuplai diri karena kekurangan tenaga kesehatan yang melayani, dengan mandiri beberapa dari mereka membersihkan luka pasien secara standar.
Achir Yani melayani pasien hingga subuh, ada kelelahan yang ia rasakan dengan kejadian itu, namun ia puas setelah melewati masa kritis dan gaduh dalam ruang darurat tersebut.
Teriakan demi teriakan, bentakan dan emosi para keluarga pasien dan kerabat perlahan surut, mereka mengelompokkan diri pada tempat duduk. Ada yang melantai, ada pula yang memanfaatkan tembok.
Yani dengan rambut lebih pendek kini, karena tidak ingin rambutnya mengganggu saat melayani pasien, mendengar mereka berdiskusi mengenai kejadian, dan tetap pada konsep awal mereka, meneruskan demonstrasi, tanpa kenal lelah.
Rambut yani sangat panjang, sebab ia sangat menyayangi hal itu, namun karena setiap memakai seragam dinas , harus ia sanggul, akhirnya ia memutuskan untuk dipotong menjadi pendek.
Yani berlalu dari mereka, terdengar percakapan mereka perlahan hilang dari pendengaran Yani yang masuk kedalam ruangan khusus untuk membersihkan seluruh alat-alat yang telah ia pakai sebelumnya.
Besoknya mahasiswa yang kelak mewujudkan cita-citanya menjadi guru besar tersebut, libur selama dua hari.
Tingkat III
Kini ia menjadi tingkat III pada kampus tersebut, dengan papan nama berwarna merah. Ilmu yang ia dapatkan juga makin bertambah.
Dalam jiwanya justru merasa makin kurang dari apa yang seharusnya diketahui untuk menjadi perawat yang baik.
Dengan perpaduan teori dan praktik, dia memiliki pemahaman yang dalam mengenai keilmuan yang ia timba dari dosen.
Walaupun ada saatnya bingung ketika apa yang diamati dan terjadi di rumah sakit tidak sama dengan teori yang diajarkan di kelas.
Misalnya: diajarkan kelengkapan alat untuk memandikan salah satunya ada selimut ekstra, tapi di RS tidak ada selimut ekstra, akhirnya menggunakan kain panjang pasien.
Yang penting privacy pasien tetap terjaga. Tidak ada rotan, akarpun jadi tanpa mengabaikan hal hal yang prinsip sesuai dengan teori.
Sesekali keluar asrama karena kebutuhan, ia akui pernah melakukannya. Namun hal yang tidak pernah ia lakukan adalah mangkir dari dinas.
Atau sekedar sodorkan wajah, lalu menghilang dari ruang dinas, baginya waktu dinas adalah waktu terbaik untuk fokus membandingkan. Keilmuan dan praktik. Apa persamaan dan perbedaannya.
Baginya, tidak hanya mengkritik bahwa ada disparitas antara teori dan praktik tanpa mencoba menelusur apa penyebabnya.
Menyapa Pasien Koma
Selamat Pagi, pekenalkan saya Yani,
Mahasiswa tingkat III, Akper Depkes Jakarta.
Maaf yah pak, saya ganti selimutnya?
Demikian Achir Yani menyapa pasien yang koma (tidak sadarkan diri).
Beberapa orang perawat jaga menatapnya, jangan-jangan ini Yani gangguan jiwa, sebab berbicara sendiri. Karena jika berbicara dengan pasien, mana mungkin.
Sebab pasien tersebut dalam kondisi koma.
Namun Yani berpikir bahwa pasien harus dilayani baik, sebagaimana ia mempelajari konsep dan teori komunikasi terapeutik, Salam dan memperkenalkan diri pada pasien. Tanpa kecuali.
Meski saat itu belum ada SOP, akan tetapi dengan intellectual curiousity and depth thinking. Jiwanya selalu ingin belajar tentang apa yang dialami oleh pasien yang dirawat.
Dalam keadaan sadar maupun tidak sadar, ini sebagai salah satu cara meningkatkan empati yang sangat diperlukan sebagai perawat
Pada kenyataannya, pasien dengan kondisi koma, sensasi nyeri tidak ia rasakan, namun masih bisa mendengarkan. Kalaupun tidak mendengarkan, maka ia tetap memperkenalkan diri sebagai sesuatu keharusan.
Artinya, merespon maupun tidak, itu urusan nanti. Yang utama adalah menyapa dan memperkenalkan diri.
Alhasil, setelah pasien tersebut sadar, maka ia bertanya, dimana Yani yang anak tingkat III Akper. Teman dinas sebelumnya menyampaikan ini kepada Yani.
Maka ia pun menemui pasien tersebut, seperti biasa memperkenalkan diri. Baru saja menyebut selamat sore pak, Saya… Belum menyebutkan nama, pasien tersebut memotong, Ya kamu Yani. Anak tingkat III di Akper Depkes.
“Terimakasih sudah membuat saya merasa bahwa saya masih hidup”.
Yani terharu dengan pernyataan bapak tersebut, ia semakin yakin bahwa pasien dalam kondisi koma, dan mematung sekalipun. Masih memiliki kemungkinan besar mendengarkan percakapan orang yang ada disekitarnya.
Mungkin saja saat koma, pasien sendiri meragukan tentang kehidupannya yang mungkin antara mimpi dan nyata.
Penunggu Bangsal Untuk Achir Yani
Saat itu ia sedang dinas pada bangsal Anak, seorang lelaki selalu memandangnya. Seakan setiap langkah kakinya adalah tontonan tivi. Pandangan matanya berpendar namun tanpa kerisauan.
Lelaki itu menatap kosong pada sisi lain ketika memalingkan wajah, namun seakan memberikan isyarat kepatuhan pada Yani. Postur tinggi kurus.
Meski dengan rambut yang tidak dicuci, dan pakaian yang tidak terawat, rupanya penunggu di bangsal ini mengalami gangguan jiwa. Namun Yani tetap menyapanya.
Tanpa banyak kata, lelaki ini manggut-manggut sejenak. Pertanda tidak ada kemungkinan melakukan perbuatan repressif kepadanya.
Semenjak itu, lelaki tersebut selalu menunggunya sekedar bertegur sapa dan salam kepadanya. Lelaki ini seperti mengetahui tempat dinas perempuan Komering tersebut.
Mereka berdua bersahabat, selama dirumah sakit, maka lelaki ini seakan menjadi pengawal pribadi. Yani tidak risih dengan banyolan teman dinasnya yang sekali waktu menyapa. Hey Yani, tuh fans sekaligus pengawal pribadimu datang.
Semenjak itu, Yani memahami secara mendalam bagaimana memperlakukan pasien dengan gangguan Jiwa.
Bahwa pasien yang gangguan jiwa tidak bisa kolaboratif dan tidak bisa sembuh, hanyalah mitos.
Terkadang ia menunggu di depan asrama, maupun pada jembatan dapur, mengawal masuk ke RSCM. Atau sekedar ngobrol biasa, senyum dan salam. Ia tak banyak bicara, hanya senyum dan mengangguk.
Taruhan Traktiran Makan Besar
Adalah Ambar, sebagaimana dia merupakan teman seangkatan dan teman akrab, sekaligus sahabat yang memiliki pendekatan hobby yang sama.
Keduanya sama-sama kursus Bahasa Inggris, sekaligus juga teman menonton pementasan WS Rendra di TIM, dan menonton film di bioskop Megaria
Pada tempat kursus Bahasa Inggris, ada seorang instruktur yang keren dan menjadi idola peserta kursus.
Ambar memiliki inisiatif sedikit menantang. Jika kamu (Yani) bisa taklukkan instruktur tersebut, maka saya akan memberi traktiran kepadamu.
Apa yang menjadi barometernya bahwa ia takluk? Jawab Yani.
Ia harus sampai bertamu di Asrama.
Bagi Yani barometer ini bukan perkara yang sulit, sebab yang ia hindari adalah jalan keluar, akan tetapi jika hanya sekedar bertamu sesuatu yang mudah.
Benar saja, bahwa instruktur tersebut pada suatu sore datang berkunjung. Tentu Ambar harus menunaikan janji taruhannya.
Sayangnya, instruktur ini terbawa arus, sebab lelaki tersebut tidak mengetahui, bahwa kunjungannya ke asrama sebagai salah satu indikator, taruhan Ambar dan Yani.
Sekaligus ini menjadi pesan kepada anda, bahwa bisa jadi anda menjadi taruhan, anda sudah serius-serius melakukan pendekatan. Ternyata dia menghilang entah terbawa arus dimana.
Membantu Kepenulisan Tahun 1977
Ketika menyelesaikan studi pada tahun 1976, dengan judul skripsi tentang Kasus Hidrosefalus (Hyrocephalus), “Asuhan Keperawatan pada Bayi dengan Hydrocephalus”
Maka sebagai mahasiswa bimbingan, harus selalu melakukan konsultasi dengan pembimbing, yakni Dr. Sumarmo Markam, SpS(K). Dosen dengan perawakan fisik sedang, beruban yang ketika berjalan begitu tegak (tidak kaku). Namanya kami sebutkan sebelumnya.
Sayangnya pada rumah Dr. Sumarmo Markam, SpS(K), terdapat perawat praktik yang judesnya minta ampun. Suatu sore Achir Yani hendak mempertanyakan keberadaan pembimbingnya tersebut.
Namun belum juga selesai kalimat pertanyaan, perawat tersebut langsung memotong dengan menjawab “tidak ada”.
Padahal yang bersangkutan ada didalam ruangan tersebut. Entah ada apa sehingga penjaga tempat praktik itu begitu membencinya.
Akhirnya ia mengambil cara kreatif, sebagaimana Dr. Sumarmo Markam, SpS(K) memiliki kebiasaan naik bus angkutan kota.
Maka Yani menunggunya melewati koridor bagian Saraf menuju kantornya, Yani menghadangnya di situ. Kesabaran berbuah hasil, sebab dengan cara itu lebih efektif membangun komunikasi dan konsultasi mengenai skripsinya.
Kemudian hari, Dr. Sumarmo Markam, SpS(K) mengajaknya untuk menyusun sebuah buku tentang ilmu saraf berjudul berjudul Neuro-Anatomi. Maka hubungan baik antara Achir Yani dengan dosen tegas tersebut semakin akrab.
Dr. Sumarmo Markam, SpS(K), merupakan salah seorang dokter spesialis pada bagian saraf RSCM. Tinggal pada Kompleks dosen Rawamangun, sebagaimana istrinya juga seorang dosen UI pada jurusan Psikologi.
Komunikator Hebat Preman Pun Takluk
Narasi berikut ini adalah petikan wawancara penulis dengan salah satu sahabat Achir Yani, yakni Ambar
Mengisahkan bahwa Pada tahun 1976, setelah wisuda. Entah karena mau refreshing, mereka bertiga (Ambar, Yani dan Hari Mustikawati) jalan jalan ke Lampung dan meneruskan ke Palembang/Sungai Gerong di rumah Yuk Dewy (kakak Yani).
Kejadian tak terlupakan adalah saat naik kereta api KERTAPATI pada malam hari. Mereka menikmati perjalanan, cukup sunyi, bunyi roda kereta api mendesing dengan suara getaknya.
Hampir sampai di Palembang, ketahuan tas jinjing/koper Etty (panggilan Hari Mustikawati) hilang, diambil orang.
Entah siapa pelakunya, sebab dalam perjalanan tersebut, mereka sibuk berdiskusi panjang lebar, mulai dari suasana asrama, nostalgia di Grogol, TIM dan sebagainya. Sesekali mereka tertawa dan saling menepuk lengan.
Sesampai di Palembang, Yani berkata begini ke Ambar “tunggu disini sebentar”. Menenangkan sahabatnya tersebut. Entah apa yg dilakukan gadis yang hebat Karate dan pencak Silat tersebut, tidak terlalu lama (tidak sampai setengah jam) tas milik Etty kembali.
Utuh, tanpa ada barang yang hilang, meskipun acak acakan. Melihat kondisinya, rupanya tas tersebut telah menjalani operasi preman.
Ambar bertanya apa yang anda lakukan sehingga preman itu takluk?
Berani betul kamu berkelahi, pikiran Ambar dalam hati.
Yani hanya menjawab komunikasi dengan bahasa mereka/bahasa preman.
Achir Yani Pada Akper Depkes Jakarta
Setelah menyesaikan studi pada Akper Depkes Jakarta, iya mendapatkan tawaran bekerja pada kampus tersebut, tepatnya pada tahun 1976.
Selain bekerja, selanjutnya ia juga menjalani untuk mematangkan pengetahuan praktiknya, pada RSCM, sebab ada Memorandum of Underastanding (MoU) antara Akper Depkes dengan RSCM.
Dengan mempekerjakan para dosen pada unit-unit atau ruang perawatan, sehingga Achir Yani memiliki aktifitas pada dua tempat yakni Akper dan RSCM.
5 tahun kemudian tepatnya pada 1981, Yani ke Filipine. Sebab mendapatkan beasiswa WHO dari Departemen Kesehatan melalui Pusdiknakes. Dan ditugas belajarkan pada School of Nursing, University of the Philiphines di Quezon City
Hanya untuk jatah satu orang pada pendidikan ini. Tentunya, kemampuan bahasa Inggris yang ia pelajari selama masih kuliah sangat mempengaruhi kelulusannya.
Proses pendidikannya hingga tahun 1983, menyesaikan studi di awal 1984. Dan dimasa tersebut, beliau bergabung dengan Kelompok Kerja Keperawatan CHS yang telah terbentuk.
K3CHS ini beranggotakan antara lain para senior keperawatan: Junarsih, Johanna, Ratna Sitorus, Suharyati, Ramah, Tien Gartinah, Jane Freyana.
Bergabung dalam Kelompok Kerja Keperawatan dan menyelenggarakan kegiatan bernama Lokakarya Keperawatan. Kegiatan pada tahun 1983 tersebut menjadi awal kemajuan pendidikan keperawatan tanah air.
Tepatnya pada akhir tahun 1983
Bagaimana kisahnya, silahkan ikuti pada Epidose Selanjutnya.
Kesimpulan
Dari sini kita bisa mengambil beberapa pelajaran. Bahwa dalam mendapatkan sesuatu yang baik, harus dilakukan dengan sungguh-sungguh serta landasan keberanian ada di dalamnya.
Tidak semua teori sama dengan praktik, dan yang bijak dalam menghadapi perbedaan tersebut adalah mencari titik temu keduanya. Maupun mencoba mengurangi perbedaan terlalu jauh.
Semua manusia memiliki jiwa yang sama, pasien jiwa maupun yang koma, akan memberikan respon positif jika kita menempatkan mereka pada tempat sesuai dengan porsi mereka
Dimata sahabat selama kuliah, Achir Yani adalah seseorang dengan kemampuan komunikasi yang baik, dan mampu mempersuasi keadaan.
Sumber:
- Wawancara Langsung Dengan Sumber: Achir Yani, Ambar.
- Researchgate
- Kbr.id
- Reserarchain
kisah Ibu yani sangat inspiratif…Bisa menjadi contoh perawat untuk saat ini dan kedepannya….Mantab Bu …Semoga Ilmu yang berman,faat untuk keperawatan menjadi amal jariah Ibu Yani….
cerita Prof yani memberikan inspirasi yang amat dalam.. sehat selalu ya prof.. perjuangan violeta dalam mempertahankan cinta..