Bahwa dalam pelayanan kesehatan terdapat pendelegasian tugas medis ke petugas lain, kejadian ini berlangsung kronis dan jelas menjadi keluhan perawat seluruh Indonesia, bagaimana solusi terbaiknya?
Perdebatan yang sering terjadi antara tenaga medis dengan perawat adalah seputar pembagian jasa pelayanan kesehatan (ada juga yang menyebutkan jasa medik). Jika saja perawat menyampaikan aspirasinya mengenai keadilan pembagian uang jasa, maka secara otokratik, mereka akan mendapatkan tekanan, ancaman hingga mutasi ketempat “terjauh”. Dalilnya adalah mereka tidak tunduk pada kebijakan dan “melawan atasan”.
Perdebatan mengenai ini, sudah tertulis dalam buku “Era Transisi Keperawatan” yang telah terbit pada tahun 2016.
Namun sebelum lebih lanjut mengupas artikel ini, maka sebaiknya kita membahas beberapa hal menyangkut definisi, yakni:
- Pendelegasian,
- Tenaga Medis,
- Tenaga Perawat dan Tenaga Kesehatan Lain
Konsep Pengelegasian Tugas Medis
Sebagai gambaran awal, maka desain pemahamannya bisa seperti berikut ini.
Kasus 1:
Saya memiliki rencana membangun rumah, sebenarnya saya sangat mengetahui cara membuatnya, namun karena kesibukan saya, maka saya meminta anda untuk memasang batu dan mendirikan bangunan rumah tersebut.
Atas hal tersebut, maka saya harus menanggung biaya pekerjaan membangun rumah tersebut yang saya bayarkan kepada anda.
Kasus 2:
Tetangga saya membangun rumah, namun tidak mengetahui bagaimana caranya mendirikan, akhirnya dengan pengalaman saya membangun rumah, saya menerima kontrak pekerjaan tersebut.
Kemudian, Saya memanggil anda untuk bekerja sebagai tukang, dan tentu sebagai pimpinan proyek, saya akan membagikan anda upah yang layak. Dengan memandang anda sebagai tukang yang memiliki hak asasi manusia.
Dalam dua kasus ini, bagaimanapun maka keduanya adalah bentuk pendelegasian tugas dan kewenangan oleh pemilik rumah. Dan seluruhnya harus berakhir dengan pemberian insentif maupun upah kepada siapa yang mengerjakan.
Arti Pendelegasian
Terdapat banyak pakar yang memberikan definisi mengenai pendelegasian ini, dengan kata dasar delegasi, yakni:
KBBI
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Menyebutkan bahwa Pendelegasian adalah penyerahan atau pelimpahan kewenangan.
Charles J Keating
Pendelegasian adalah upaya pemberian sebagian tanggung jawab serta kewibawaan kepada pihak lain.
Dengan pengertian dari hal ini, maka kita dapat simpulkan bahwa pelimpahan ini adalah sebuah proses penyerahan kewenangan yang menjadi tugasnya kepada orang lain. Berdasarkan kompetensi mereka.
Definisi Tenaga Medis
Selanjutnya, Banyak petugas di rumah sakit maupun di puskesmas dan pelayanan kesehatan lain, mendefinisikan diri sebagai tenaga medis, padahal kenyataannya mereka adalah seorang perawat, bidan dan lain sebagainya.
Jika harus jujur, sesuai dengan judul daripada artikel ini, maka perdebatan yang terjadi karena penggunaan kata “medis” yang memiliki makna yang berbeda, pada profesi tertentu.
Kemudian, Siapa itu tenaga medis? Apakah mereka yang memakai seragam putih-putih dirumah sakit adalah tenaga Medis?
Aturan Hukum Tentang Tenaga Medis
Oleh karena kita berada di negara hukum, maka segala hal yang akan kita kerjakan harus mendapatkan landasan hukum yang kokoh.
UU No 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan, Pasal 1 Ayat 6 menyebutkan:
Tenaga Medis adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kedokteran atau kedokteran gigi serta memiliki sikap profesional, pengetahuan, dan keterampilan melalui pendidikan profesi kedokteran atau kedokteran gigi dalam melaksanakan upaya kesehatan.
Pasal 1 Ayat 7 UU No 17 Tahun 2023
Tenaga Kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang Kesehatan serta memiliki sikap profesional, pengetahuan, dan keterampilan melalui pendidikan tinggi yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan Upaya Kesehatan. Sumber bpk.go.id
Dengan pengertian tersebut maka, mereka yang tersebut sebagai tenaga medis, hanya yang memiliki gelar dokter, dokter gigi maupun dokter spesialis.
Apakah definisi tersebut berlaku sejak tahun 2023?
Mari kita melihat aturan sebelumnya yang memberikan definisi maupun batasan tenaga medis.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2009 TENTANG RUMAH SAKIT
Pasal 12, Ayat (1) Persyaratan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) yaitu Rumah Sakit harus memiliki tenaga tetap yang meliputi tenaga medis dan penunjang medis, tenaga keperawatan, tenaga kefarmasian, tenaga manajemen Rumah Sakit, dan tenaga non kesehatan.
Pasal 34 (1) Kepala Rumah Sakit harus seorang tenaga medis yang mempunyai kemampuan dan keahlian di bidang perumahsakitan. Sumber Pelayanan Kesehatan dan Keperawatan: Pengorganisasian dan Model
Perawat Bukan Tenaga Medis
Sampai pada pengertian ini, maka siapapun, yang bekerja pada rumah sakit, baik ia seorang perawat, bidan, fisioteraphis, perawat gigi, Bukanlah seorang Tenaga Medis. Jika mereka memahami, maka penggunaan kata “medis” inilah yang menjadi sumber perdebatan hingga saat ini.
Selanjutnya, Perawat dan tenaga kesehatan lain, ketika mendapatkan pertanyaan, apakah anda tenaga medis di Rumah Sakit? Maka jawaban mereka adalah “Ya”. Padahal jelas dalam aturan, tenaga medis adalah hanya untuk dokter, dokter gigi. Selebihnya bukanlah penyebutan demikian.
Apa Pengertian Keperawatan?
Sesuai dengan UU No 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan, pasal 1 ayat 2, Perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan tinggi Keperawatan, baik di dalam maupun di Iuar negeri yang diakui oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
Dalam pasal 4, lebih jelas lagi tentang jenis perawat, yakni:
(1) Jenis Perawat terdiri atas:
a. Perawat profesi; dan
b. Perawat vokasi.
(2) Perawat profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a terdiri atas:
a. ners; dan
b. ners spesialis.
Maka, dari definisi tersebut menjelaskan bahwa perawat bukanlah tenaga medis, sebab dalam definisi “tidak menyebutkan bahwa perawat merupakan profesi medis”.
Tindakan Di Rumah Sakit Apakah Itu Pelayanan Medis?
Baca pada UU Keperawatan, Pasal 1 Ayat 4, yakni Pelayanan Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat Keperawatan ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik sehat maupun sakit.
Sehingga, Grey Area, atau area abu-abu inilah yang menjadi perdebatan. Sebab tafsir civil society, secara general. Atau pandapat umum masyarakat menganggap bahwa perawat adalah tenaga medis, sementara perawat juga memang merasa senang disebut tenaga medis.
Demi memperjelas persoalan ini, maka kita harus mengupas kembali tentang tugas dan fungsi perawat.
Adapun, Proses pelayanan yang perawat profesional berikan kepada klien kita kenal dengan sebutan praktik keperawatan.
Bagaimana sebutannya dalam aturan?
Pasal 30 UU No 38 Tahun 2014 menyebutkan, pada ayat:
(1) Dalam menjalankan tugas sebagai pemberi Asuhan Keperawatan di bidang upaya kesehatan perorangan, Perawat berwenang:
a. melakukan pengkajian Keperawatan secara holistik;
b. menetapkan diagnosis Keperawatan;
c. merencanakan tindakan Keperawatan;
d. melaksanakan tindakan Keperawatan;
e. mengevaluasi hasil tindakan Keperawatan;
f. melakukan rujukan;
g. memberikan tindakan pada keadaan gawat darurat sesuai dengan kompetensi;
h. memberikan konsultasi Keperawatan dan berkolaborasi dengan dokter;
i, melakukan peny’uluhan kesehatan dan konseling; dan
j. melakukan penatalaksanaan pemberian obat kepada Klien sesuai dengan resep tenaga medis atau obat bebas dan obat bebas terbatas.
Pada 10 kewenangan yang melekap pada perawat, area yang berhubungan dengan medis ada pada pasal 30 ayat 1j. Selebihnya adalah merupakan tindakan keperawatan sebagai sebuah tindakan mandiri dengan otonomi kewenangan yang mereka miliki.
Pendelegasian Tugas dan Kewenangan
Buku Era Transisi Keperawatan terbitan tahun 2016, menyebutkan dalam halam 85, bahwa Nilai keagamaan awal, seperti penolakan terhadap diri sendiri, panggilan spiritual, dan pengabdian terhadap tugas dan kerja keras, telah mendominasi keperawatan sepanjang sejarahnya. Komitmen para perawat terhadap nilai-nilai ini sering berakhir dengan eksploitasi dan gaji yang tidak memadai. Untuk beberapa lama perawat meyakini bahwa tidak layak rasanya mengharapkan manfaat ekonomi dari “panggilan” mereka (Kozier, ERB, Berman, & J.Snyder, 2010).
Kenyataannya, perawat mendapatkan tugas di instansi pelayanan kesehatan, keluar dari pelayanan keperawatan sebagaimana amanat undang-undang. Justru lebih dominan melaksanakan tugas pendelegasian dari profesi medis. Realitas inilah menjadi “bom waktu” yang akan meledak sewaktu-waktu. Sebab perawat semakin menyadari akan “konsekuensi pendelegasian”.
Idealnya, pendelegasian tugas atau kewenangan, harus berbanding lurus dengan pembagian uang jasa pelayanan. Jika selama ini yang banyak melayani adalah perawat maka tentunya mereka juga berhak secara profesi untuk mendapatkan insentif yang sesuai. Baca ulang, kasus 1 dan 2 sebagai prolog dari artikel ini, untuk memahami arti tenaga kerja dan hak asasi manusia.
Pembagian Uang Jasa Pelayanan
Perdebatan Besaran Uang Jasa akan terjadi, waktu 24 jam dalam sehari, perawat ada dan bersama dengan klien, mendapatkan tuntutan memberikan pelayanan prima kepada pasien, keluarga pasien serta masyarakat tidak pernah mau mengetahui, kondisi dan realitas secara pribadi para perawat tersebut di ruang-ruang pelayanan.
Jasa Pelayanan Kesehatan Atau Jasa Medik?
Tunjangan jasa pelayanan keperawatan tidak tersebutkan khusus oleh instansi pelayanan kesehatan, maka terjadilah konflik “pembagian uang jasa” pelayanan medik.
Dalam penyebutan pelayanan medik hal itu tergambar untuk pelayanan yang bersifat medis, sehingga untuk meminimalisasi konflik pembagian uang jasa ini sewajarnya terdapat porsi uang jasa pelayanan keperawatan dengan mengakumulasi tindakan-tindakan keperawatan.
Jika seandainya hak-hak perawat jelas berdasarkan tindakan yang mereka laksanakan, maka perawat akan berlomba memberikan pelayanan keperawatan terbaik sesuai standar profesi pada instansi-instansi pelayanan kesehatan, sebab reward berdasarkan volume tindakan keperawatan yang terlaksana.
Sehingga akan kita temukan perawat dengan kepuasaan kerja yang mereka jalankan, mereka tidak bisa hanya dengan doktrin tersenyum tanpa otonomi dan pemuasan atas kinerja profesi.
Keluhan atas “kekurang ramahan”, atau “kurang senyum” atau “kurang memuaskan” pelayanan keperawatan, tidak bisa kita lihat dalam satu sisi, tidak hanya memberikan funishment tapi sudah saatnya melihat sisi dan alasan lain sehingga kondisi ini terus berlarut-larut, yang pada muaranya mengharapkan perawat menjalankan secara totalitas kinerja keprofesian dan tindakan-tindakan keperawatan mendapatkan apresiasi.
Pendelegasian Sepihak
Grey Area (Area abu-abu), pendelegasian dan sebagainya, seharusnya melibatkan perawat dalam pengambilan kebijakan mengenai prosedur dan hak-hak dalam pendelegasian berdasarkan undang-undang yang berlaku.
Jika ada tindakan yang didelegasikan maka seharusnya pula hak atau reward dari pendelegasian harus diserahkan, sebab fungsi yang dijalankan pada saat pendelegasian merupakan fungsi dependen.
Pada kajian lain, wibawa seorang perawat harus dibangun pada persamaan hak dengan profesi lain, perawat harus bangga dengan profesinya secara independen, perawat harus percaya diri dengan profesinya tidak hanya secara lisan, tetapi dengan perilaku diruang-ruang kerja.
Perawat tidak boleh merasa dibawah profesi tertentu, perawat tidak boleh merasa lebih rendah dari profesi lain, sebab secara strata perawat sama dengan profesi lain, yang membedakan adalah kajian dan batasan-batasan keilmuan.
Oleh karena perbedaan kajian ilmu tersebut, maka perawat harus meyakini bahwa proses belajar yang selama ini dilewati dalam proses perkuliahan tidak membawa mereka merasa rendah diri dari profesi lain.
Rasa tidak percaya diri ini muncul, ketika perawat merubah wujud dan bangga mengerjakan profesi orang lain, padahal dalam aturan, jelas bagaimana perawat disebutkan akan kewenangan, peran dan tanggung jawab yang ada dipundaknya.
Pertanyaan Kini dan Masa Datang
Waktu akan terus bergulir, pelayanan kesehatan adalah sesuatu yang tidak bisa berhenti, sebab negara mengatur perangkat untuk menciptakan rasa nyaman bagi seluruh rakyatnya.
Apakah Perawat Berhak Mendapatkan Uang Jasa Dari Pendelegasian?
Tentu jawaban pertanyaan ini adalah berhak dan bisa sebab menginfus, memasang kateter (contohnya) merupakan tindakan medis dan hal itu bukan tugas perawat. Oleh karena pendelegasian yang ada, maka karenanya perawat berhak juga memperoleh pendelegasian insentif (jasa).
Bagaimana Jika Pihak Tertentu Tidak Bersedia “Adil”?
Ini adalah pola lama, sudah berlangsung sejak negara ini berdiri. Jika saja tenaga medis hanya mendelegasikan tugas dan tidak mendelegasikan insentif secara merata. Dengan demikian hal ini perawat tidak merasa adil. Maka perawat boleh mengembalikan tugas pendelegasian tersebut. Sebab menjadi aturan hukum bahwa tindakan medis hanya bisa terlaksana oleh mereka profesi medis.
Apakah itu tindakan melawan atasan?
Tugas Fungsional dan Struktural berbeda. Tindakan melawan atasan seperti apa batasannya? Bukannya tindakan medis adalah tindakan yang menjadi kewenangan profesi medis? Kembali kepenjelasan sebelum ini, bahwa tugas yang terdelegasikan harusnya berbanding lurus dengan terdelegasikannya insentif jasa pelayanan.
Ini baru adil, sebab di negara hukum yang sama, semua warga negara memiliki hak yang sama, termasuk petugas kesehatan untuk mendapatkan kesejahteraan.
UUD Tahun 1945
Pasal 28 B ayat (2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 28C Ayat (2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya.
Untuk menyelesaikan polemik, maka langkah mudah adalah “memperjelas batasan pendelegasian”. Dan jika saja ada kewajiban melaksanakan pendelegasian harus berbanding lurus dengan hak atasnya. Wallahu Wa’lam.
Sumber:
- Undang-undang No 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan
- Undang-undang No 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan
- Buku Era Transisi Keperawatan, Terbitan Tahun 2016, Penulis Abdul Haris, S.Kep., Ns.,M.Kep.