Generasi Millenials

Generasi milenial dengan sejuta kreatifitas
Generasi Milenial (Foto: solopos.com)

Generasi millenials, dalam ilmu sejarah kontemporer, kalender Gregorian mengklasifikasikan cakupan tahun 2001 sampai 3000 sebagai millennium ketiga. Kelompok demografis yang beranjak dewasa pada saat pergantian millennium. Lalu, bagaimana bentuk organisasi dan penjelasannya? Riska Putri – Organisasi.co.id

Istilah yang populer di abad ke-21 ini berasal dari teori generasi Strauss-Howe, diperkenalkan pada tahun 1987 oleh William Strauss dan Neil Howe.

Bacaan Lainnya

Sebutan sebagai gema generasi baby boomers juga kerap kali melekat pada millennials. Hal ini karena mayoritas millennials merupakan keturunan generasi baby boomers.

Penyebab lainnya adalah lonjakan kelahiran generasi millennials pada tahun 1980-an hingga 1990-an. Fenomena tersebut, ibaratnya seperti gema dari lantangnya lonjakan kelahiran generasi baby boomers.

Secara umum, tahun 1981 hingga 1996 resmi sebagai tahun kelahiran generasi millenials awal. Artinya, millennials paling tua akan berusia 40 tahun, sementara yang paling muda akan berusia 25 tahun pada tahun 2021.

Pergeseran nilai-nilai kebudayaan berpartisipasi dalam menciptakan sebutan lain bagi generasi millenials. Kerap kali generasi millenials mendapat label Peter Pan.

Organisatoris lain baca ini: Atraksi Sepatu Roda Olahraga Dan Gaya Milenial

Seperti bisa kita tebak, asal muasalnya adalah kisah fiksi berjudul sama, yang bercerita tentang seorang anak laki-laki yang tidak akan menjadi dewasa.

Generasi millenials memiliki tendensi untuk menunda pernikahan, serta hidup lebih lama bersama orang tuanya. Tendensi ini dianggap sebagai “penolakan” atas kedewasaan, yang kemudian berkonotasi dengan kisah Peter Pan.

Padahal, jika kita cermati lebih dalam, sesungguhnya terdapat alasan logis dari tendensi tersebut.

Para ahli menyatakan bahwa tingginya biaya perumahan, pendidikan, serta generasi orang tua yang relatif lebih makmur, menjadi beberapa faktor yang mendorong tendensi tersebut.

Selain itu, generasi millenials juga cenderung menolak pernikahan, serta melangsungkan pernikahan berdasarkan usia tertentu, sebagai simbol kedewasaan.

Nilai-nilai kedewasaan serta usia menikah kini merupakan suatu hal yang relatif. Aturan-aturan lama dianggap sudah kuno. Millenials kini menentukan sendiri nilai-nilai kedewasaan dan usia menikahnya, berdasarkan pencapaian pribadi masing-masing.

Ciri dan Bentuk Generasi Y

Generasi millenials awal
Awal generasi (generasi Y) (Foto: linovhr.com)

Istilah Generasi Y digunakan untuk merujuk generasi millenials awal. Istilah ini berfungsi sebagai kelanjutan dari Generasi X, sebelum akhirnya berganti dengan millennials.

Karakteristik utama yang membedakan Generasi Y dengan generasi pendahulu adalah kecakapan teknologi. Generasi Y tumbuh bersama-sama pesatnya perkembangan teknologi.

Tak ayal, Generasi Y seringkali disebut sebagai warga pribumi dunia digital. Meskipun demikian, Generasi Y sesungguhnya tidak terlahir di dunia digital.

Melalui layar ponsel atau laptop yang tengah Anda gunakan membaca artikel ini, Anda bisa berkelana sejenak ke tahun-tahun awal kelahiran Generasi Y. Tak mengagetkan jika laman pencarian Google memperlihatkan dunia yang terasa berbeda.

Hingga tahun 1994, penggunaan ponsel masih bukan merupakan hal yang lazim. Begitu pula dengan komputer, mesin cuci, microwave, serta barang-barang elektronik lainnya yang lazim kita temui dalam keseharian.

Orang-orang di tahun 1994 mungkin akan kaget saat tahu bahwa benda seukuran genggaman tangan, bisa melakukan banyak hal-hal rumit, bahkan mungkin melancarkan serangan nuklir.

Seperti itulah masa awal kehidupan Generasi Y. Dan hal ini pula yang menjadi karakteristik istimewa Generasi Y, dibandingkan generasi-generasi lainnya.

Organisatoris lain baca ini: Aliran Organisasi Ada 5: Klasik, NeoKlasik, Modern, Post & Milenial

Generasi Y terlahir di dunia analog, yang mana berbagai macam pekerjaan dan fungsi kehidupan terlaksana secara manual, tanpa bantuan mesin elektronik. Seiring berjalannya waktu, Generasi Y beradaptasi pada perkembangan teknologi.

Mereka mulai mengandalkan bantuan mesin untuk melakukan tugas, pekerjaan, dan fungsi kehidupannya.

Generasi Y berbondong-bondong meninggalkan dunia analog, bermigrasi mengejar fatamorgana digital nun jauh di masa depan.

Tapi ternyata, dunia digital nyata adanya, bukan ilusi, bukan permainan cahaya. Generasi Y sukses bermigrasi, menetap dan menjadi pribumi sudut-sudut relung digital.

Ciri lainnya, Generasi Y memiliki kecakapan, literasi, serta pengetahuan mengenai teknologi yang tertinggi hingga saat ini, bahkan jika kita bandingkan dengan generasi setelahnya.

Ciri-ciri Generasi Z

Generasi z (Foto: idntimes.com)

Generasi Z merupakan suksesor dari Generasi Y. Dalam kehidupan sehari-hari, Generasi Z biasa disebut menggunakan istilah zoomers.

Generasi kelahiran akhir tahun 1990-an hingga 2010-an ini merupakan generasi sosial pertama yang tidak pernah hidup tanpa internet dan teknologi.

Zoomers menghirup nafas pertamanya bersisian dengan ceklikan kamera saku, dering ponsel pintar, serta kilauan layar digital.

Beberapa pendapat mengatakan bahwa zoomers adalah pribumi dunia digital yang sesungguhnya, meskipun pada kenyataannya tidak semua zoomers memiliki literasi digital yang baik.

Tentu saja hal ini bukan merupakan sesuatu yang berada di luar nalar, karena sejatinya zoomers paling muda baru akan merayakan ulang tahunnya yang ke 8. Maka dari itu, jika literasi teknologi menjadi salah satu faktor penentu, sebutan sebagai pribumi digital masih lebih layak tersematkan pada Generasi Y.

Lahir di relung digital, zoomers memiliki ketergantungan berlipat kali lebih tinggi terhadap teknologi, jika kita bandingkan dengan generasi-generasi pendahulunya. Tidak berlebihan jika mengatakan bahwa internet dan teknologi terasimilasi dalam DNA generasi zoomers.

Ciri khusus dari zoomers adalah suaranya yang lantang di relung digital. Generasi ini tidak takut menyuarakan pendapatnya di internet, sekalipun harus beradu argument dengan sesama pejuang papan ketik.

Ciri Generasi Z Lainnya

Generasi zoomers sangat terkenal atas kontribusinya pada beragam permasalahan sosial dan hak azasi manusia. Mereka adalah prajurit garis depan, yang memberikan suara pada permasalahan-permasalahan yang membisu dari zaman ke zaman.

Kecakapan penguasaan teknologi pada generasi zoomers, tentu saja tidak terjadi tanpa kekurangan. Generasi ini dikreditkan dengan munculnya gangguan mental baru, yang berakar pada kecemasan sosial.

Fear of Missing Out (FOMO) merupakan gangguan mental yang banyak diidap oleh zoomers. Praktis hidup berdampingan dengan teknologi dan internet, para zoomers akan merasa sangat gelisah ketika ponsel pintarnya kehabisan baterai, atau tidak mendapat sinyal internet.

Terkoneksi dengan internet menjadi sebuah kebutuhan, yang tidak boleh terbantahkan oleh siapapun. Bahkan, di beberapa kasus ekstrim, kehilangan akun media sosial membuat zoomers merasa bahwa karakternya telah mati.

Organisatoris lain baca ini: 75 Organisasi Kepemudaan Nasional, Mahasiswa Dan Sayap Partai

Maka tak perlu heran, jika suatu saat Anda menemukan judul berita mengenai generasi zoomers yang melakukan tuntutan hukum. Delik aduannya pembunuhan karakter, alasannya karena akun sosial medianya terkena ban.

Ciri lainnya dari zoomers adalah kecakapan multitasking. Mereka mampu mengerjakan lebih dari 1 pekerjaan, dalam waktu bersamaan. Hanya saja, kemampuan ini juga membawa kekurangannya sendiri.

Para peneliti mengatakan, rentang perhatian zoomers merupakan yang terburuk sepanjang sejarah manusia. Setidaknya jika dibandingkan dengan generasi-generasi pendahulunya.

Generasi ini terlalu terbiasa dengan perubahan yang ekstra cepat, sehingga tidak lagi memiliki kemampuan untuk fokus pada satu hal, selama lebih dari bebera menit.

Maka pertanyaan satu juta dollar terjawab sudah. Otak digital generasi zoomers tidak lagi mampu memberi perhatian pada ribuan kata, mencari makna yang tersembunyi dalam jutaan kalimat.

Layaknya makanan cepat saji, informasi harus tersuguhkan dalam bentuk sederhana. Mudah, cepat, dan bisa tercerna dalam hitungan detik.

Ciri-ciri Generasi Alpha

Generasi milenials akhir
Generasi Alpha (Foto: popmama.com)

Adalah sebutan bagi kelompok sosial kelahiran tahun 2010-an hingga sekarang. Generasi ini merupakan yang kelompok pertama yang seluruh anggotanya terlahir di abad ke-21.

Istilah Generasi Alpha pertama kali diperkenalkan oleh McCrindle Research, sebuah lembaga konsultan asal Australia. “Alpha” sendiri merupakan huruf pertama dari alfabet Yunani kuno.

Penggunaan alfabet Yunani ini terinspirasi dari musim topan Atlantik 2005. Saking banyaknya badai topan pada saat itu, mengakibatkan alfabet Romawi tergunakan seluruhnya untuk menamai masing-masing topan. Setelah A hingga Z terpakai, huruf selanjutnya yang terpakai berasal dari alfabet Yunani.

Jika kita bandingkan dengan generasi-generasi pendahulunya, Generasi Alpha merupakan yang paling mendapatkan berkah secara materi. Perkembangan teknologi dan tingkat kecukupan nutrisi, membuat banyak orang menganggap Generasi Alpha akan memiliki angka harapan hidup tertinggi dari ketiga generasi millennials.

Ciri khas dari Generasi Alpha adalah masa kecil mereka yang sudah akrab dengan teknologi. Layar ponsel pintar dan tablet komputer menggantikan fungsi empeng, hiburan menyertai pelaksanaan proses pendidikan.

Proses belajar mengajar pada institusi pendidikan masa kini terasa lebih berwarna, lebih variatif, serta interaktif. Hal ini perlu terlaksana karena rentang perhatian rendah generasi sebelumnya, terbawa dalam DNA Generasi Alpha.

Sebaliknya, sikap apatis dan sinis dari Generasi X mendapat pandangan akan berkurang pada Generasi Alpha. Hal tersebut dikreditkan pada perkembangan teknologi, yang membuat pekerjaan masa kini bisa selesai di rumah.

Orang tua memiliki waktu lebih banyak untuk bercengkrama dengan anak-anaknya, sekaligus mengawasi penggunaan gawai agar ketergantungan terhadap teknologi dapat berkurang.

Kelebihan Kekurangan Zaman Generasi Y, Z, dan Alpha

Generasi yang ada di dunia (Foto: liputan6.com)

Sama-sama berada di periode generasi millenials, Generasi Y, Z, dan Alpha merupakan generasi fasih teknologi. Bak dengusan nafas, kecakapan dan literasi teknologi berhembus secara alami.

Generasi millennials erat kaitannya dengan penemuan bidang-bidang pekerjaan baru, yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Kelangkaan lapangan pekerjaan bisa tuntas melalui kreatifitas penggunaan gawai, internet, dan media sosial.

Kesadaran akan permasalahan lingkungan dan sosial pada generasi ini juga lebih tinggi. Hal ini berasal dari keterjangkauan informasi, serta pengaruh dari bintang-bintang media sosial yang ada.

Organisatoris lain baca ini: Aliran Organisasi Modern, Dengan 5 Teori Dan Pengaruh Teknologi

Konsumsi konten-konten multi bahasa juga menjadikan generasi ini salah satu yang paling fasih dalam berkomunikasi secara global. Kemampuan berbahasa asing layaknya kacang goreng yang terjual di pinggir jalan, bisa terjangkau dengan mudah, dengan harga yang murah pula.

Pemanfaatan teknologi dalam kehidupan sehari-hari mendapatkan prediksi bahwasannya, akan terus meningkat. Karenanya, muncul kekhawatiran bahwa generasi ini akan sepenuhnya tergantung pada teknologi.

Kehilangan teknologi akan membuat generasi ini kehilangan arah, merasa seakan cahaya pengetahuan merenggutnya secara tiba-tiba.

Bentuk Organisasi Zaman Millenials

Bentuk organisasi generasi millenials
Bentuk dari organisasi generasi milenial (Foto: today.line.me)

Kekejuran tidak ada dalam kamus millenials. Fleksibilitas dan sifat dinamis menjadi syarat utama mempertahankan diri dari kepungan arus perkembangan.

Tidak hanya berlaku pada diri pribadi, hal tersebut juga berlaku pada organisasi.

Menjamurnya start-up merupakan fenomena nyata yang bisa kita lihat di kehidupan sehari-hari. Unsur-unsur pembentuk organisasi start-up tidak kaku, tidak terbatas kualifikasi di atas kertas.

Kata kuncinya hanya dua: mau belajar dan bisa beradaptasi.

Alih-alih berusaha membendung gelombang peningkatan teknologi, generasi millenials memilih untuk menunggangi arusnya. Berkelit gesit antara gulungan ombak, bersama-sama mendobrak bendungan zaman.

Pelaksanaan tugas dan pekerjaan pun mendapat imbasnya. Jika dahulu pekerjaan harus berada di kantor, dalam rentang waktu tertentu, kini mantra yang terulang adalah “yang penting selesai”. Pekerjaan bebas dilakukan dimanapun, kapanpun, bagaimanapun teknisnya, selama pekerjaan tersebut selesai sebelum tenggat waktunya.

Tentunya budaya kerja yang lebih dinamis ini masih sering bertabrakan dengan organisasi-organisasi lebih tua. Namun, tak bisa kita pungkiri kemungkinan besar budaya kerja ini kedepannya akan semakin menjamur.

Daftar Pustaka

  1. Paulin, Geoffrey D. 2018. Fun Facts About Millennials: Comparing Expenditure Patterns from the Latest Through the Greatest Generation. Monthly Labor Review: U.S. Bureau of Labor Statistics.
  2. Horovitz, Bruce. 2012. After Gen X, Millennials, What Should Next Generation Be?. USA Today.
  3. https://news.okezone.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *