Kata “Perbaiki Keturunan” ini muncul dan merupakan pernyataan yang mengiris orang papua, jika saja mereka menikah dengan orang kulit putih. Tentu pula kata tersebut tidak menghargai harkat dan martabat “mutiara hitam” papua tersebut.Fauzi, Organon – Organisasi.co.id
Bahasan mengenai kata tersebut mengemuka dalam postingan saling sindir dalam group media sosial, selama proses “penertiban” gerakan yang terjadi di Papua. Saling perang urat saraf antara kelompok TPNPB dan merka yang mencintai NKRI terjadi. Hingga sampai pada saling “mengejek”.
Dalam sebuah tulisan yang di rangkai oleh Maximus Syufi, dalam sebuah media online dptapapua.com. Dengan kalimat subjektif yang memposisikan bahwa kulit hitam “papua” bukanlah kulit yang kotor, bau dan seluruh identifikasi yang jauh dari nilai estetika.
Organisatoris lain baca ini: Pendekatan Sistem dalam Sebuah Organisasi: 3 Bentuk
Sampai kepada munghubungkan antara keturunan dan upaya perbaiki “warna kulit” sebagai sebuah labelisasi emosional. Kejadian menempatkan kulit hitam sebagai kulit yang kotor dan harus kita musuhi adalah sebuah pelanggaran hak asasi manusia dengan rasisme.
Pernyataan Perbaiki Keturunan Melanggar Hukum
Bentuk pernyataan tersebut melanggar UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis
Berikut ini, adalah hukuman yang bisa menjerat pelaku rasisme, yakni:
Pasal 15
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya sebagaimana di maksud dalam Pasal 4 huruf a, di pidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 16
Setiap orang yang dengan sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 1, angka 2, atau angka 3, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 17
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerkosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 4, di pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari masing-masing ancaman pidana maksimumnya.
Pasal 18
Selain pidana sebagaimana di maksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17 pelaku dapat di jatuhi pidana tambahan berupa restitusi atau pemulihan hak korban.
Perlakukan Korporasi
Pasal 19
(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17 dianggap dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan/atau atas Hama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut balk sendiri maupun bersama-sama.
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suatu korporasi, maka penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
Pasal 20
Dalam hal panggilan terhadap korporasi, pemanggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan disampaikan kepada pengurus di tempat pengurus berkantor, di tempat korporasi itu beroperasi, atau di tempat tinggal pengurusnya.
Pasal 21
(1) Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat di jatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana di maksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17.
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha dan pencabutan status badan hukum.
Penegakan Hukum Terhadap Rasisme
Artikel tulisan dari Maximus Syufi adalah sebuah kebenaran, sebab para pelaku telah melakukan pelanggaran dan berhak mendapatkan pidana. Penjara maupun hukuman denda hingga mencapai Rp. 500 juta.
Kita sepakat pada penegakan hukum tersebut, bahwa kata perbaiki keturunan merupakan sebuah upaya rasisme. Dan semua harus mengutuk keras. Selain menghina orang Papua, juga telah menginjak injak martabat kemanusiaan mereka.
UU No 40 Tahun 2008 sangat jelas mengatur mengenai hal tersebut. Oleh karena kejadian tersebut telah menjatuhkan harga diri orang Papua yang sebenarnya.
Orang Papua merasa terasing pada orang kulit putih di Surabaya, Jakarta, Makassar, Medan dan sebagainya. Kemudian sekali lagi pada tulisan tersebut menjelaskan bahwa bukan kehendak mereka untuk berkulit hitam. Jika seandainya bisa merubah warna kulit, maka merekapun pasti akan melakukannya (merubah warna kulit).
Sebab ucapan rasisme sekali lagi mengoyak jiwa OAP (orang asli Papua). Ini menyedihkan dan mengecewakan orang asli Papua.
Organisatoris lain baca ini: Pemberontakan Bersenjata: 6 Daftar dan Ideologinya
Yang Berhak Tinggal Di Papua
Sayangnya tulisan Maximus sangat subjektif, hanya menulis mengenai perasaan orang Papua (termasuk pribadinya), dan merasa tidak menghargai hak asasi mereka. Sebaliknya tidak memikirkan martabat orang Indonesia secara umum (Non OAP, terutama Jawa, Jakarta).
Justru pernyataan para separatis KKB OPM, dengan berkata, orang Jawa silahkan pulang ke Jawa, atau yang bukan asli Papua silahkan angkat kaki dari Papua. Meski pada dasarnya yang berteriak merdeka di Papua hanya 3% penduduk. Namun penuh dengan ancaman senjata.
Pernyataan ini apakah meminta Jawa kembali ke Jawa tidak Rasis?
Sehingga penyataan Rasisme juga harus menggunakan cermin untuk melihat posisi dan letak rasis tersebut. Emosi juga harus terletak pada nilai keluhuran dan budi.
Bahwa menghargai hak asasi manusia dan martabat kemanusiaan, sebagai sebuah keharusan saat merasa martabatnya terinjak.
Dengan emosi jiwa yang murni pula harus melihat persoalan. Sebab menuding pernyataan “Memperbaiki Keturunan” sebagai sebuah pernyataan rasis adalah sebuah kesepakatan sosial berlandaskan hukum. Jangan menghina warna kulit, atau jangan menghina orang Papua.
Tapi juga mengusir orang non OAP dari Papua, dengan pernyataan bahwa Non Asli Papua harus angkat kaki adalah Rasis yang kejam dan tak bermatabat. Kalimat ini harus menjadi kesepakatan yang sama.
Tinggalkan Papua
Sebelum pembahasan ini, kita sudah sepakat bahwa UU No 40 Tahun 2008 Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis sebagai suatu aturan hukum yang harus tegak.
Dan pernyataan Maksimus yang hendak merubah warna kulit dari hitam keputih adalah harapan.
Adalah sama orang Non OAP yang hendak lahir dari kandung orang Papua. Yang saat ini mereka “mempertahankan hidup” di negerinya bernama pulau Papua.
Bermakna bahwa kelahiran di Papua saja tidak boleh serta merta mengaku bahwa Papua adalah milik orang yang lahir di tanah tersebut.
Oleh karena Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 disebutkan bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Hal itu bermakna bahwa siapapun boleh tinggal dan membangun Papua.
Akan muncul pernyataan, bahwa sampai disini artikel ini adalah artikel yang salah. Tentu ini sebuah kesalahan pada mata KKB OPM karena tidak mendukung gerakan kemerdekaan mereka.
Dan akan sampai kepada upaya untuk menarik pernyataan menghukum pelaku rasisme dengan UU No 40 tahun 2008.
Kekejaman KKB OPM yang memandang kulit putih Non OAP sebagai ras yang tidak berhak tinggal di Papua adalah upaya teror yang keji. Bahkan lebih keji dari pernyataan “Memperbaiki Keturunan”.
Sebab dengan memaksa mereka meninggalkan Papua, maka mereka meninggalkan harta benda yang kemungkinan besar akan kehilangan hal tersebut.
Narasi Memiliki
“Siapa suruh datang ke Papua”
Narasi ini adalah narasi subjektif dan tentu sangat rasis, yang menuduh bahwa pendatang yang memperbaiki Papua adalah musuh yang harus di selesaikan ataupun terusir.
Sekali lagi, OAP bukanlah pemilik Papua, namun negaralah pemilik Pulau tersebut. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berdaulat pada tanah Papua.
Maka aturan negara berlaku mutlak, termasuk upaya untuk menumpas segala bentuk gerakan terorisme pada Bumi Cenderawasih. Bahwa tidak benar ada bendera “pemberontakan” lain terpasang pada bumi Indonesia. Hal itu adalah makar.
Maka penulis Maximus kita harapkan, bahwa jika tulisannya adalah upaya untuk mendapatkan keadilan dan penegakan hukum. Kita sepakat dan sangat setuju dengan hal tersebut. Dan pada sisi yang sama kita mengharapkannya juga harus membela tanah Air Indonesia yang di koyak oleh para “teroris” di Papua.
Apapun rasionalisasinya, tidak boleh ada upaya membuat rusuh di Papua, sebab negara hadir untuk mengamankan Negara itu sendiri.
Kemudian upaya untuk membuat perbedaan OAP dan Non OAP adalah sebuah isu yang dangkal, sebab harus kita ingat pula bahwa OAP banyak yang mendiami pulau Jawa, Sulawesi, Kalimantan hingga Sumatera. Apakah OAK (Orang Asli Kalimantan) menghukum orang Papua untuk tidak mendiami tanah mereka? Tentu tidak.
Stop Rasisme, kita pada negara sama, Indonesia, Merdeka! Jangan lagi ada kata perbaiki keturunan dan Orang kulit putih jangan tinggal di Papua, Sebab UU berlaku secara adil bagi seluruh warga negara Indonesia.
Organisatoris lain baca ini: Tujuan Pemberontakan OPM, Sejarah Dan Fakta